Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif April 2009 telah menominasikan golput
(golput) sebagai “pemenang”. Walau disokong oleh fatwa haram Majelis
Ulama Indonesia (MUI) persentase golput tetap menunjukkan kadar yang
tinggi. Menjelang pemilihan umum presiden tidak sedikit kalangan yang
memprediksi bakal terjadi lonjakan golput.
Berbeda dengan fatwa haram MUI, ditataran grass root (akar rumput)
sederet tokoh masyarakat gencar melakukan seruan golput pada pemilu
presiden Juli 2009 mendatang seperti yang dilakukan oleh Sri Bintang
Pamungkas. Secara terang-terangan Sri Bintang Pamungkas menjadi
Koordinator Kongres Nasional Golongan Putih.
Fatwa haram MUI dan Kongres Nasional Golongan Putih tentu berlawanan
secara diametral. Tanpa alasan yang jelas, Sri Bintang menyerukan
masyarakat untuk golput, sementara MUI menghendaki agar masyarakat tidak
golput dengan alasan bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah wajib.
Bedanya lagi kalau MUI adalah kepanjangan tangan pemerintah, sedangkan
Kongres Nasional Golongan Putih merupakan inisiasi sebagian elit yang
bersifat kultural, -kalau bukan disebut barisan sakit hati yang selama
ini berada diluar struktural kekuasaan.
Namun pun demikian, perbedaan mencololok antara MUI dan Kongres Nasional
Golongan Putih bukan lantas menempatkan fatwa haram golput tanpa
masalah. Jika Konres Nasioal Golongan Putih cenderung mengaburkan
demokrasi, tapi gerakannya menjadi bagian dari demokrasi itu sendiri.
Sementara MUI, fawa haram glput yang bertujuan mengefektifkan demokrasi
memunculkan ”bercak noda” sekaligus mencederai otoritas dan
profesionalitas lembaga suci MUI.
Pertengkaran elit
Jika dirunut jauh kebelakang, inisiasi fatwa haram golput muncul
ditengah pertengkaran elit. Pada awalnya adalah statemen Abdurrahman
Wahid atau Gusdur, politisi sepuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang
menyerukan ancaman golput pada pemilu 2009. Jika boleh direka-reka,
ancaman golput Gusdur itu dilatari rasa “sakit hati” terhadap pemerintah
karena lebih berpihak kepada PKB kubu Muhaimin Iskandar.
Seruan ancaman itu kemudian ditangkap oleh Ketua Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) sekaligus politisi asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Hidayat Nurwahid, dengan aroma tidak sepakat. Hidayat Nurwahid lalu
memberi sinyal kepada MUI untuk memproduksi fatwa haram golput.
Kesepemahaman ulama-ulama MUI pun mucul. Hasilnya golput haram.
Pro-kontra kemudian merebak, namun tidak sedikit pula yang bersikap
dingin dan acuh tak acuh. Dalam perjalanannya, tak hanya media dan
pengamat yang geger, masyarakat pun turut dipusingkan oleh fatwa haram
golput itu.
Pun dengan penulis sendiri. Lahirnya fatwa haram golput, niatan awal
untuk tidak memilih kembali bergejolak. Jika tidak memilih, ada
kekawatiran diganjar masuk neraka karena melalukan tindakan atau sikap
politik yang telah dicap haram.
Corong kepentingan
Fatwa haram golput merupakan produk agama. Bicara soal agama, MUI
menjadi salah satu rujukannya. Lembaga MUI, sebagai institusi bentukan
pemerintah yang kusus berbicara tentang persoalan-persoalan seputar
agama, tentu dalam posisi tersubordinasi. Legitimasi yang dimiliki
tidaklah setangguh lembaga-lembaga politik negara lain seperti
eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
Namun, bagaimanapun, MUI adalah representasi aspirasi dan kepentingan
umat Keberadaan MUI menjadi penting untuk meningkatkan bargaining
position sekaligus menjadi penyambung lidah kepentingan umat Islam.
Dalam perjalanannya, peran MUI kerap mendapat sorotan kritik banyak
kalangan. Isu-isu yang diangkat kurang menyentuh persoalan-persoalan
substansial umat. Malah kesan yang dimunculkan, akibat posisi subordinat
itu, MUI kurang menampakkan peran kritisnya dimata kekuasaan. MUI pun
diidentikkan dengan lembaga “corong kekuasaan”.
Lahirnya fatwa haram golput menjadi salah satu tanda betapa MUI kurang
bijak memposisikan diri sebagai perwakilan umat untuk semua. Seperti
telah disinggung diatas, golput adalah wacana yang digulirkan oleh
elit-elit tertentu dan muncul ditengah perang kepentingan.
Memunculkan fatwa haram golput berarti MUI masuk dalam lautan konflik
kepentingan diantara kelompok-kelompok yang menyerukan golput dengan
golongan yang anti golput. Tidak salah jika kemudian, setelah ketetapan
fatwa itu dipublikasikan, MUI menjadi bulan-bulanan kritik banyak
kalangan. Selai itu, independensi, kapabilitas, dan kredibilitas MUI
digugat dan diragukan.
Padahal jika bicara efektifitas, fatwa haram golput bukan malah
mendatangkan kemaslahatan, namun kemudaratan. Fatwa itu seakan memaksa
agama untuk bermain tarik tambang dengan kekuasaan yang saling tarik
menarik. Disamping itu juga, gawang konstitusi yang secara gamblang
mengisyaratkan bahwa memilih adalah hak ditabrak oleh MUI menjadi wajib.
Wajib dalam arti haram hukumnya jika tidak memilih.
Jalan kultural
Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik, yakni tidak
golput, pada dasarnya baik. Bahkan para pakar politik sering
mengingatkan bahwa semakin besar potensi golput maka semakin terancam
pula sistem politik demokrasi dinegeri ini. Artinya, kekuasaan tidak
lagi legitimet sehingga menyebabkan ketidakleluasaan pemerintah
memproduksi kebijakan-kebijakan politiknya.
Hanya saja, lagi-lagi, fatwa itu dimunculkan ketika perseteruan antar
elit politik mengemuka secara tajam. Padahal tanpa fatwa formal MUI pun,
sebenarnya ada jalan yang lebih efektif sehingga bisa menghidari
sejauhmungkin gesekan-gesekan politik. Cara itu adalah melalui jalan
kultural.
Demi keselamatan MUI agar tidak menjadi tali dalam lomba tarik tambang
antar elit politik, saya pikir seruan untuk tidak golput lebih pas jika
menggunakan jalur kutural. Ulama-ulama MUI dengan jaringan ulama-nya
se-Indonesia akan lebih efektif jika seruan untuk tidak golput
disampaikan dari masjid ke-masjid, disematkan disela-sela ceramah, lewat
pengajian, dan pendekatan-pendekatan kutural lainnya.
Secara sosiologis, peran ulama dimata masyarakat adalah ikon kultural
yang selalu digugu, menjadi suritauladan, penasehat agama, curahan hati
masyarakat, gawang spiritual. Kedekatan secara kutural dan emosional
itulah ulama bisa menyisipkan pesan-pesan pendidikan politik demi
kemajuan dan perubahan bangsa lebih baik, demokrastis dan mencerdasakan.
Selengkapnya...
Selamat Datang
Selamat datang di blog sederhana ini. Tidak banyak yang dijamu disini. Hanya sepenggal ulasan-ulasan ringan hasil refleksi dan buah pikir pemiliknya. Inilah yang saya tahu dan bisa. Semoga bermanfaat
Senin, 30 Juli 2012
Memanusiawikan keadilan hukum
JUDUL di atas seolah menyimpan
segumpal umpatan dalam kaitannya dengan keadilan hukum. Rupa-rupanya
keadilan hukum kerap hadir tidak secara berimbang. Adil bagi yang satu,
tapi tidak adil bagi lainnya. Padahal, keadilan adalah sesuatu yang
benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara
yang tepat dalam mengambil keputusan (Abdurahman Wahid, 1995).
Umpatan tak sedap yang mengatakan bahwa hukum di negeri ini masih jauh dari semangat keadilan buat kalangan atau masyarakat kecil tampaknya bukan sekadar cibiran sinis tanpa dasar. Berbagai kasus yang mendesak hadirnya ketegasan hukum terjebak pada mekanisme formal yang acap menanggalkan dimensi keadilan. Hukum di negeri ini masih menyisakan wajah bopengnya, menghadirkan keadilan yang bukan sebenarnya.
Bagi masyarakat pendamba keadilan yang notabene jauh dari akses kekuasaan atau uang, hukum tak ubahnya seperti monster yang siap menelan. Masyarakat kecil dimata hukum tidak hendak diperjuangkan tapi malah menjadi korban. Hukum hanya cukup melihat siapa dan apa yang dilakukan berikut pasal apa dan ayat berapa yang kemudian digunakan untuk menjustifikasi kesalahan, tanpa menelisik lebih jauh mengapa kesalahan itu dibuat.
Alih-alih melihat dalam konteks seperti apa yang cocok untuk diterapkan, pasal dan ayat hukum menjadi kiblat buta dan siap menghantam siapa saja yang melanggarnya. Kasus-kasus seperti yang dialami Prita Mulyasari, Mbah Minah dengan beberapa biji coklat, dan kasuskasus sejenis lainnya adalah sederet korban yang tersubordinasi oleh dominasi kekuasaan dan uang terhadap hukum. Selantang apa pun perlawanan hukum dilakukan, ketika ketegasan hukum dibahasakan, sekali salah tetap salah. Akan berbeda realitasnya jika yang dijatuhi pasal dan ayat hukum adalah orang-orang the have atau memiliki modal politik yang kuat, bahasabahasa ketegasan hukum akan menjadi seremoni belaka. Rule of law tak berdaya. Kasus-kasus yang ada mungkin publik sudah banyak yang mafhum
Tidak sedikit pakar hukum dengan fasih menyuarakan pencerahan hukum. Dan tidak kurang lantangnya para juru bicara keadilan hukum melontarkan gagasan-gagasan keadilan. Salah satu sarat terwujudnya keadilan adalah dengan sudi keluar dari kungkungan formalitas baku yang ada. Artinya, hukum secara apik perlu diracik dengan perangkat pengetahuan sosiologis, misalnya, dalam proses-proses penetapannya. Sehingga, hukum akan lebih mantap melihat siapa dan mengapa pelanggaran dilakukan.
Dalam mengawal upaya pencerahan hukum, bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, walau harus mengorbankan segala kebakuankebakuan yang sudah mapan. Hanya saja, proses akhirnya tentu tergantung pada kerja keras dan ijtihad maksimal pemangku keputusan hukum agar menelurkan produkproduk hukum yang adil dan mampu memangkas sisi subjektivitas yang kerap ditutupi oleh imingiming materi dengan melanggar kode etik.
Kesepadanan
Sekedar perbandingan, dalam membangun kerangka metodologis sebagai ikhtiar mencerahkan hukum tampaknya perlu menyepadankan dan berkaca pada tradisi penemuan hukum Islam. Konstruksi hukum Islam yang bersumber dari dua sumber asasi yakni Alquran dan As-Sunnah dalam alam jagat pewacanaan cukup memiliki kekayaan. Kekayaan kerangka metodologis hukum Islam jika digarap serius menjanjikan terwujudnya kemaslahatan dengan bersendikan keadilan sejati.
Sumber asasi hukum Islam adalah Alquran dan As-Sunnah. Keduanya diyakini memiliki nilai dan kualitas absolut dan mutlak. Bahwa, pesan-pesan substansialnya benarbenar dihadirkan oleh sang pembuat hukum, yakni Allah SWT. Universalitas pesan keadilan wajib ditegakkan. Oleh karenanya segala tata aturan yang tidak mengindahkan dimensi keadilan adalah ditolak dan tidak patut ditegakkan. Dari alur logika itu, maka menegakkan hukum Allah SWT berarti menegakkan keadilan.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dituntut untuk mengembangkan kreativitas dan kapasitasnya, sebagai khalifah dan pengemban amanah, untuk terus mengaktualkan pesan universal dan substansial yang dianjurkan Allah SWT. Jalan dimaksud itulah yang akrab dikenal dengan ijtihad. Dengan modal ijtihad, aspek-aspek keadilan diturunkan yang kemudian menghasilkan produk-produk turunan hukum yang disesuaikan dengan konteks sosiologis, misalnya, di mana hukum itu diterapkan. Metodologi ijtihad yang kini popular dan masih dipegang teguh oleh orang-orang yang dinilai memiliki otoritas seperti qiyas, ijma’, istihsan, maslahah mursalah, ’urf, dan lain-lain.
Berbagai temuan gagasan terkait bangunan kerangka metodologi hukum Islam kian waktu pun terus membanjir. Yang paling menonjol adalah hermeunetika. Adalah sebuah keabsahan tentunya ditengah kemajuan ilmu pengetahuan mulai dari bahasa, sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya jika pengkajian hukum Islam memanfaatkan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan tersebut. Sebab, bila hukum Islam tidak dibaca dan dipahami dengan metodologi yang mencerahkan dan hanya terjebak pada ’’pasalpasal” atau ayat-ayat yang tertera dalam sumber-sumber asasinya, sudah barang tentu akan menemui keganjilan dan kontradiksi hebat. Keganjilan atau kontradiksi itu salah satunya disebabkan oleh benturan semangat perubahan yang menuntut cara baca baru.
Tentu tidak bisa dinafikan bahwa latar historis petama kali hukum Islam diterapkan jauh berbeda dengan konteks saat ini. Dimensi keadilan yang intrinsik dalam hukum Islam dipengaruhi oleh semangat zaman, yakni perubahan konteks ruang dan waktu. Oleh karenanya, bicara soal keadilan tentu harus membuka mata melihat semangat perubahan yang menyertai. Siapa, kapan, di mana, mengapa, dan lain-lain perlu mendapat porsi lebih agar keadilan hukum dapat membekas.
Akhirnya, dalam menentukan hukum, penggunaan pola akal dan nurani perlu dikedepankan. Proses shifting paradigm dari pasal-pasal atau ayat ayat yang baku dan kaku mendesak untuk diupayakan dan dirintis secara berani, kritis dan analitik.
Tak terkecuali dalam kasus Prita Mulyasari misalnya, atau Mbah Minah yang mampu menyedot perhatian dan simpati publik, harus dilihat dalam semangat demokratisasi dan partisipasi dalam menentukan hukum sebagai konsekuensi perubahan sosiologis masyarakat yang kian sadar dan kritis. Di atas partisipasi itulah hukum akan berdiri di atas semangat kebutuhan dan aspirasi publik yang rindu akan keadilan, persamaan, dan kesederajatan hukum sejati. Kita pun pantas berdalih, bahwa hukum Allah SWT saja dalam batas-batas tertentu memungkinkan mengalami pergeseran pola dan konteks, apalagi hukum manusia! Legiman Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Umpatan tak sedap yang mengatakan bahwa hukum di negeri ini masih jauh dari semangat keadilan buat kalangan atau masyarakat kecil tampaknya bukan sekadar cibiran sinis tanpa dasar. Berbagai kasus yang mendesak hadirnya ketegasan hukum terjebak pada mekanisme formal yang acap menanggalkan dimensi keadilan. Hukum di negeri ini masih menyisakan wajah bopengnya, menghadirkan keadilan yang bukan sebenarnya.
Bagi masyarakat pendamba keadilan yang notabene jauh dari akses kekuasaan atau uang, hukum tak ubahnya seperti monster yang siap menelan. Masyarakat kecil dimata hukum tidak hendak diperjuangkan tapi malah menjadi korban. Hukum hanya cukup melihat siapa dan apa yang dilakukan berikut pasal apa dan ayat berapa yang kemudian digunakan untuk menjustifikasi kesalahan, tanpa menelisik lebih jauh mengapa kesalahan itu dibuat.
Alih-alih melihat dalam konteks seperti apa yang cocok untuk diterapkan, pasal dan ayat hukum menjadi kiblat buta dan siap menghantam siapa saja yang melanggarnya. Kasus-kasus seperti yang dialami Prita Mulyasari, Mbah Minah dengan beberapa biji coklat, dan kasuskasus sejenis lainnya adalah sederet korban yang tersubordinasi oleh dominasi kekuasaan dan uang terhadap hukum. Selantang apa pun perlawanan hukum dilakukan, ketika ketegasan hukum dibahasakan, sekali salah tetap salah. Akan berbeda realitasnya jika yang dijatuhi pasal dan ayat hukum adalah orang-orang the have atau memiliki modal politik yang kuat, bahasabahasa ketegasan hukum akan menjadi seremoni belaka. Rule of law tak berdaya. Kasus-kasus yang ada mungkin publik sudah banyak yang mafhum
Tidak sedikit pakar hukum dengan fasih menyuarakan pencerahan hukum. Dan tidak kurang lantangnya para juru bicara keadilan hukum melontarkan gagasan-gagasan keadilan. Salah satu sarat terwujudnya keadilan adalah dengan sudi keluar dari kungkungan formalitas baku yang ada. Artinya, hukum secara apik perlu diracik dengan perangkat pengetahuan sosiologis, misalnya, dalam proses-proses penetapannya. Sehingga, hukum akan lebih mantap melihat siapa dan mengapa pelanggaran dilakukan.
Dalam mengawal upaya pencerahan hukum, bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, walau harus mengorbankan segala kebakuankebakuan yang sudah mapan. Hanya saja, proses akhirnya tentu tergantung pada kerja keras dan ijtihad maksimal pemangku keputusan hukum agar menelurkan produkproduk hukum yang adil dan mampu memangkas sisi subjektivitas yang kerap ditutupi oleh imingiming materi dengan melanggar kode etik.
Kesepadanan
Sekedar perbandingan, dalam membangun kerangka metodologis sebagai ikhtiar mencerahkan hukum tampaknya perlu menyepadankan dan berkaca pada tradisi penemuan hukum Islam. Konstruksi hukum Islam yang bersumber dari dua sumber asasi yakni Alquran dan As-Sunnah dalam alam jagat pewacanaan cukup memiliki kekayaan. Kekayaan kerangka metodologis hukum Islam jika digarap serius menjanjikan terwujudnya kemaslahatan dengan bersendikan keadilan sejati.
Sumber asasi hukum Islam adalah Alquran dan As-Sunnah. Keduanya diyakini memiliki nilai dan kualitas absolut dan mutlak. Bahwa, pesan-pesan substansialnya benarbenar dihadirkan oleh sang pembuat hukum, yakni Allah SWT. Universalitas pesan keadilan wajib ditegakkan. Oleh karenanya segala tata aturan yang tidak mengindahkan dimensi keadilan adalah ditolak dan tidak patut ditegakkan. Dari alur logika itu, maka menegakkan hukum Allah SWT berarti menegakkan keadilan.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dituntut untuk mengembangkan kreativitas dan kapasitasnya, sebagai khalifah dan pengemban amanah, untuk terus mengaktualkan pesan universal dan substansial yang dianjurkan Allah SWT. Jalan dimaksud itulah yang akrab dikenal dengan ijtihad. Dengan modal ijtihad, aspek-aspek keadilan diturunkan yang kemudian menghasilkan produk-produk turunan hukum yang disesuaikan dengan konteks sosiologis, misalnya, di mana hukum itu diterapkan. Metodologi ijtihad yang kini popular dan masih dipegang teguh oleh orang-orang yang dinilai memiliki otoritas seperti qiyas, ijma’, istihsan, maslahah mursalah, ’urf, dan lain-lain.
Berbagai temuan gagasan terkait bangunan kerangka metodologi hukum Islam kian waktu pun terus membanjir. Yang paling menonjol adalah hermeunetika. Adalah sebuah keabsahan tentunya ditengah kemajuan ilmu pengetahuan mulai dari bahasa, sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya jika pengkajian hukum Islam memanfaatkan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan tersebut. Sebab, bila hukum Islam tidak dibaca dan dipahami dengan metodologi yang mencerahkan dan hanya terjebak pada ’’pasalpasal” atau ayat-ayat yang tertera dalam sumber-sumber asasinya, sudah barang tentu akan menemui keganjilan dan kontradiksi hebat. Keganjilan atau kontradiksi itu salah satunya disebabkan oleh benturan semangat perubahan yang menuntut cara baca baru.
Tentu tidak bisa dinafikan bahwa latar historis petama kali hukum Islam diterapkan jauh berbeda dengan konteks saat ini. Dimensi keadilan yang intrinsik dalam hukum Islam dipengaruhi oleh semangat zaman, yakni perubahan konteks ruang dan waktu. Oleh karenanya, bicara soal keadilan tentu harus membuka mata melihat semangat perubahan yang menyertai. Siapa, kapan, di mana, mengapa, dan lain-lain perlu mendapat porsi lebih agar keadilan hukum dapat membekas.
Akhirnya, dalam menentukan hukum, penggunaan pola akal dan nurani perlu dikedepankan. Proses shifting paradigm dari pasal-pasal atau ayat ayat yang baku dan kaku mendesak untuk diupayakan dan dirintis secara berani, kritis dan analitik.
Tak terkecuali dalam kasus Prita Mulyasari misalnya, atau Mbah Minah yang mampu menyedot perhatian dan simpati publik, harus dilihat dalam semangat demokratisasi dan partisipasi dalam menentukan hukum sebagai konsekuensi perubahan sosiologis masyarakat yang kian sadar dan kritis. Di atas partisipasi itulah hukum akan berdiri di atas semangat kebutuhan dan aspirasi publik yang rindu akan keadilan, persamaan, dan kesederajatan hukum sejati. Kita pun pantas berdalih, bahwa hukum Allah SWT saja dalam batas-batas tertentu memungkinkan mengalami pergeseran pola dan konteks, apalagi hukum manusia! Legiman Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dimuat di Koran Sore Wawasan Monday, 11 January 2010
Selengkapnya...
Mengikis Toleransi Semu Menuju Toleransi
Di pengujung tahun 2009 lalu KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meninggal
dunia. Suasana sedih mewarnai emosi masyarakat Indonesia. Tidak sedikit
umat Kristiani yang saat itu sedang khusuknya menghayati Natal, turut
menaruh kembang-kembang duka disisi mendiang Gus Dur.
Selain umat muslim dan Kristen, umat penganut agama lainnya pun tak ketinggalan mengacungkan pujian hormat dan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada bapak pluralisme, Gus Dur.
Gus Dur termasuk tokoh yang paling getol menyuarakan keterbukaan, toleransi, dialog dan pentingnya kerja sama antarumat beragama. Berbagai manifestasi atau bentuk relasi apapun selama tidak menggerus hal-hal prinsip dalam agama, perlu terus-menerus ditumbuhkan. Keberagaman Indonesia memang menuntut demikian. Ambil contoh masalah ucapan selamat hari raya keagamaan dari umat agama satu kepada umat agama yang lain. Bagi Gus Dur, ucapan demikian tidaklah menjadi soal. Tindakan positif itu merupakan satu dari sekian media pemupus sekat-sekat ketertutupan dan kesenjangan relasi antarumat beragama.
Tulisan berikut merupakan bentuk apresiasi positif atas gagasan-gagasan dan aksi Gus Dur selama hidupnya. Selain itu juga bagian dari ikhtiar mewacanakan lebih dekat lagi bangunan-bangunan konsep hubungan antarumat beragama agar tercipta suasana toleransi dan kerja sama demi kemajuan bangsa.
Hemat penulis, ada batu sandungan mewujudkan iklim keharmonisan dan dialog antarumat beragama yang meniscayakan sikap toleran. Batu sandungan itu justru muncul dari keyakinan teologis. Contohnya seperti model fatwa. Dalam bahasa Paul F Kniter (1990), batu sandungan sepert itu merupakan bentuk toleransi yang malas (lazy tolerance).
Dalam lazy tolerance setiap agama memang mengajak agama lain untuk mengakui keabsahan masing-masing, tapi pada saat yang sama saling mengabaikan satu sama lain. Akibat dari toleransi malas atau semu itu, antarumat beragama seperti bara dalam sekam. Hubungan dan dialog keagamaan yang mendalam tidak terjadi karena umat beragama memilih menjaga jarak.
Perhatian serius pun tak luput dari sosok Mohammad Natsir (1983:12). Bagi Natsir, dalam konteks kebhinekaan dan persatuan bangsa (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI), kerukunan antarumat beragama merupakan syarat bagi tegaknya negara Republik Indonesia yang adil dan makmur.
Dengan bahasa dan nada tulus Natsir menegaskan bahwa kalau memang masyarakat hendak menjamin kemerdekaan agama dan hendak menegakkan kejernihan hidup antarumat beragama di tengah jutaan penduduk Indonesia yang bermacam-macam agama ini, maka sebagai dasar dari kesatuan negara tidak lain adalah menyebarkan paham toleransi.
Cukup banyak ayat dalam Alquran yang memerintahkan umatnya untuk bersikap toleran. Misalnya QS Al-Hajj/22 ayat 40, “Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah Allah. Dan sekiranya tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah”.
Jelas, landasan teologis dalam Islam memberikan kerangka acuan bagi toleransi keagamaan di masyarakat tanpa harus menempatkan agama lain dalam posisi inferior. Di samping dituntut memahami agama secara benar dan berkomitmen menjadikan agama yang dianutnya sebagai pedoman hidup, seyogianya tidak mengabaikan agama dan kepercayaan manapun, baik secara lisan maupun dengan perbuatan.
Pluralisme positif
Menggunakan optik Mohammed Arkoun (1994), batu sandungan toleransi yang antara lain berwujud fatwa menyimpan kesalahan metodologis dan kurang menohok pada aspek epistemologis pemahaman keagamaan. Bisa jadi, kegagalan dalam membangun toleransi dan kerjasama antaragama selama ini disebabkan karena kurang menohok aspek epistemologis itu. Upaya membangun kerukunan lebih diwarnai oleh kepentingan sepihak dengan tujuan jangka pendek. Dari kritik epistemologi Arkoun di ataslah penyelaman terhadap sejarah hidup agama-agama perlu dilakukan. Selain itu, juga penting mengawal pembacaan ulang tafsir keagamaan sekaligus melihat relasi kuasa dan mengawinkan berbagai disiplin ilmu sebagai fondasi kerukunan antaragama.
Pluralisme bukan berarti menyamakan semua agama, dan melebur agama-agama menjadi satu, tapi menegaskan adanya perbedaan dan bagaimana menghormati, menerima dan mengakomodasi perbedaan dengan cara-cara yang konstruktif. Pluralisme lebih dari toleransi, saling berkait. Sementara toleransi lebih pada persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, pluralisme menuntut suatu pemahaman yang serius terhadap pihak lain dan kerja sama (Mohammed Fathi Osman: 2006).
Kritik epistemologi, pembongkaran terhadap sejarah agama-agama, tafsir keagamaan, dan pengawinan berbagai disiplin ilmu patut digalakkan dalam upaya memelihara dialog antaragama. Hal ini dapat mengantarkan seorang penganut agama dapat hidup berdampingan dan memberi manfaat kepada penganut agama lain tanpa kehilangan komitmen keberimanan yang diyakininya, perlu memromosikan keabsahan sosiologis agama-agama lain, sebagai jalan yang menyelamatkan kehidupan.
Logika fatwayang kurang menohok aspek epistemologis pemahaman agama tampaknya perlu “dikontraskan” dengan fakta dan praktik Nabi Muhammad SAW: “Suatu ketika Nabi menerima tamu dari kaum Nasrani Najran. Mereka datang pada waktu asar. Sembari menunggu bertemu nabi, mereka (kaum Nasrani Najran) kemudian menunaikan salat di Masjid Nabi. Ketika salah seorang sahabat hendak menegur apa yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani Najran tersebut, Nabi mencegah dan berkata: Biarkan mereka salat. Maka, orang-orang Nasrani Najran tersebut salat menghadap ke timur”. Wallahua’lam. - Oleh : Legiman, Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dimuat di Opini SoloPos 15 Januari 2010 Selengkapnya...
Selain umat muslim dan Kristen, umat penganut agama lainnya pun tak ketinggalan mengacungkan pujian hormat dan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada bapak pluralisme, Gus Dur.
Gus Dur termasuk tokoh yang paling getol menyuarakan keterbukaan, toleransi, dialog dan pentingnya kerja sama antarumat beragama. Berbagai manifestasi atau bentuk relasi apapun selama tidak menggerus hal-hal prinsip dalam agama, perlu terus-menerus ditumbuhkan. Keberagaman Indonesia memang menuntut demikian. Ambil contoh masalah ucapan selamat hari raya keagamaan dari umat agama satu kepada umat agama yang lain. Bagi Gus Dur, ucapan demikian tidaklah menjadi soal. Tindakan positif itu merupakan satu dari sekian media pemupus sekat-sekat ketertutupan dan kesenjangan relasi antarumat beragama.
Tulisan berikut merupakan bentuk apresiasi positif atas gagasan-gagasan dan aksi Gus Dur selama hidupnya. Selain itu juga bagian dari ikhtiar mewacanakan lebih dekat lagi bangunan-bangunan konsep hubungan antarumat beragama agar tercipta suasana toleransi dan kerja sama demi kemajuan bangsa.
Hemat penulis, ada batu sandungan mewujudkan iklim keharmonisan dan dialog antarumat beragama yang meniscayakan sikap toleran. Batu sandungan itu justru muncul dari keyakinan teologis. Contohnya seperti model fatwa. Dalam bahasa Paul F Kniter (1990), batu sandungan sepert itu merupakan bentuk toleransi yang malas (lazy tolerance).
Dalam lazy tolerance setiap agama memang mengajak agama lain untuk mengakui keabsahan masing-masing, tapi pada saat yang sama saling mengabaikan satu sama lain. Akibat dari toleransi malas atau semu itu, antarumat beragama seperti bara dalam sekam. Hubungan dan dialog keagamaan yang mendalam tidak terjadi karena umat beragama memilih menjaga jarak.
Perhatian serius pun tak luput dari sosok Mohammad Natsir (1983:12). Bagi Natsir, dalam konteks kebhinekaan dan persatuan bangsa (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI), kerukunan antarumat beragama merupakan syarat bagi tegaknya negara Republik Indonesia yang adil dan makmur.
Dengan bahasa dan nada tulus Natsir menegaskan bahwa kalau memang masyarakat hendak menjamin kemerdekaan agama dan hendak menegakkan kejernihan hidup antarumat beragama di tengah jutaan penduduk Indonesia yang bermacam-macam agama ini, maka sebagai dasar dari kesatuan negara tidak lain adalah menyebarkan paham toleransi.
Cukup banyak ayat dalam Alquran yang memerintahkan umatnya untuk bersikap toleran. Misalnya QS Al-Hajj/22 ayat 40, “Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah Allah. Dan sekiranya tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah”.
Jelas, landasan teologis dalam Islam memberikan kerangka acuan bagi toleransi keagamaan di masyarakat tanpa harus menempatkan agama lain dalam posisi inferior. Di samping dituntut memahami agama secara benar dan berkomitmen menjadikan agama yang dianutnya sebagai pedoman hidup, seyogianya tidak mengabaikan agama dan kepercayaan manapun, baik secara lisan maupun dengan perbuatan.
Pluralisme positif
Menggunakan optik Mohammed Arkoun (1994), batu sandungan toleransi yang antara lain berwujud fatwa menyimpan kesalahan metodologis dan kurang menohok pada aspek epistemologis pemahaman keagamaan. Bisa jadi, kegagalan dalam membangun toleransi dan kerjasama antaragama selama ini disebabkan karena kurang menohok aspek epistemologis itu. Upaya membangun kerukunan lebih diwarnai oleh kepentingan sepihak dengan tujuan jangka pendek. Dari kritik epistemologi Arkoun di ataslah penyelaman terhadap sejarah hidup agama-agama perlu dilakukan. Selain itu, juga penting mengawal pembacaan ulang tafsir keagamaan sekaligus melihat relasi kuasa dan mengawinkan berbagai disiplin ilmu sebagai fondasi kerukunan antaragama.
Pluralisme bukan berarti menyamakan semua agama, dan melebur agama-agama menjadi satu, tapi menegaskan adanya perbedaan dan bagaimana menghormati, menerima dan mengakomodasi perbedaan dengan cara-cara yang konstruktif. Pluralisme lebih dari toleransi, saling berkait. Sementara toleransi lebih pada persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, pluralisme menuntut suatu pemahaman yang serius terhadap pihak lain dan kerja sama (Mohammed Fathi Osman: 2006).
Kritik epistemologi, pembongkaran terhadap sejarah agama-agama, tafsir keagamaan, dan pengawinan berbagai disiplin ilmu patut digalakkan dalam upaya memelihara dialog antaragama. Hal ini dapat mengantarkan seorang penganut agama dapat hidup berdampingan dan memberi manfaat kepada penganut agama lain tanpa kehilangan komitmen keberimanan yang diyakininya, perlu memromosikan keabsahan sosiologis agama-agama lain, sebagai jalan yang menyelamatkan kehidupan.
Logika fatwayang kurang menohok aspek epistemologis pemahaman agama tampaknya perlu “dikontraskan” dengan fakta dan praktik Nabi Muhammad SAW: “Suatu ketika Nabi menerima tamu dari kaum Nasrani Najran. Mereka datang pada waktu asar. Sembari menunggu bertemu nabi, mereka (kaum Nasrani Najran) kemudian menunaikan salat di Masjid Nabi. Ketika salah seorang sahabat hendak menegur apa yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani Najran tersebut, Nabi mencegah dan berkata: Biarkan mereka salat. Maka, orang-orang Nasrani Najran tersebut salat menghadap ke timur”. Wallahua’lam. - Oleh : Legiman, Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dimuat di Opini SoloPos 15 Januari 2010 Selengkapnya...
SOLUSI PERTENTANGAN AGAMA DAN SAINS (Pendekatan Kontak dan Konfirmasi Persfektif John F. Haught)
Dengan membiarkan tumbuh konflik antara sains dan agama tidak dapat menyelesaikan masalah bahkan merugikan agama dan sains itu sendiri dalam hubungannya kepentingan kemanusiaan. Maka diperlukan pendekatan kontak dan konfirmasi yang lebih menguntungkan keduanya serta kepentingan kemanusiaan.
John. F. Haught dalam bukunya memaparkan analisisnya ada empat persfektif atau mazhab menyoroti masalah Sains dan agama. a) Persfektif Konflik b) Persfektif Kontras, c) Persfektif Kontak dan d ) Persfektif Konfirmasi.
Untuk penyelesaian perseteruan antara sains dan agama tidak mungkin dengan pendekatan konflik atau kontras.Permasalahan pokok adalah bagaimana mendamaikan hubungan antara sains dan agama yang menurut persfektif Haught cenderung pada pendekatan kontak dan konfirmasi. Perjumpaan keduanya adalah niscaya. Karena ilmuan sains sebagian masih mempercayai agama dan kekuasaan Tuhan.
Memang terjadi perdebatan antara keduanya masing-masing dengan argumentasi yang mendasarinya. Ilmuan melontarkan kritikannya bahwa kaum agama tidak mampu membuktikan apa yang dipercayainya dengan temuan empirik yang didukung secara kongkrit oleh pancaindra. Ilmuan sains selalu beragumentasi mampu membuktikan teorinya dengan empirik dan pancaindra secara kongkrit. Dari segi sejarah kita perlu ingat kembali beberapa contoh yang sudah jelas penyiksaan oleh gereja terhadap Galileo pada abad ke-17 dan tersebarnya Agama serta Teologi yang anti teori evolusi Darwin abad ke-19 dan 20.
Pada satu sisi Lambatnya pemikiran keagamaan menerima gagasan ilmiah seperti itu, dan fakta banyak orang mengaku beriman kepada Tuhan masih membenci mereka, memberi kesan bahwa agama tidak pernah akur dengan sains. Implikasinya orang beragama menolak temuan temuan astronomi, fisika, dan biologi. Apakah agama secara inheren memang memiliki sifat bermusuhan dengan sains?.
Oleh karena itu untuk mengakhiri pertikaian sains dan agama maka Haught menawarkan pendekatan kontak dan konfirmasi sebagai solusi. Maka pertanyaannya bagaimana deskripsi pendekatan kontak dan konfirmasi antara sains dan agama untuk dapat bekerja sama?
Tulisan ini dimaksudkan menjawab pertanyaan di atas yaitu bagaimana prosesnya pendekatan kontak dan konfirmasi itu dilakukan sehingga sains dan agama saling melengkapi untuk kepentingan umat manusia.
Kegelisahan akademik John. F. Haught.
Perkembangan ilmiah modern bagi sebagian ilmuan semakin jauh dari ide ketuhanan dan agama. Tidak tertarik dengan ide Tuhan dan Agama apalagi menarik garis penghubung sains dengan agama.
Maka Haught menawarkan solusi dalam Deskripsi bukunya ”Science and Religion: From Conflict to Conversation” Penerjemah. Fransiskus Borgias, MA, “Perjumpaan Sains Dan Agama: Dari Konflik ke Dialog“. Inti buku tersebut adalah menghubungkan sains dengan agama untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Secara spesifik Haught membahas pendekatan “kontak“ dan “Konfirmasi“ untuk menjembatani perjumpaan Sains dengan Agama. dan dirumuskan dalam pertanyaan.
Apakah intelektual tidak menerima agama? Apakah sains menyingkar kan Tuhan Personal?.Apakah tatanan Ilahi dalam evolusi tidak masuk akal dalam benak Ilmuan? Apakah gejala jiwa dan ruh semu belaka? Apakah kita masih percaya dunia ini diciptakan Tuhan?
Apa semua pola yang rumit dalam alam ini hanyalah hasil dari suatu peluang yang serba kebetulan? Dalam era kemajuan sains dapatkah kita secara jujur percaya bahwa alam semesta ini memang mempunyai narah atau tujuan tertentu? Bukankah agama bertanggungjawab atas krisis ekologis?.
Apakah Agama Bertentangan Dengan Sains?
Haught mengungkap relasi agama dengan sains ada empat pemahaman. Pertama mengatakan bahwa agama sama sekali bertentangan dengan sains sebaliknya sains membatalkan agama. Haught menyebutnya sebagai posisi konflik Kedua, orang lain menegaskan bahwa agama dan sains sangat berbeda satu dengan yang lain sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama valid. Keduanya harus ada garis pemisahan. Ini disebut dengan pendekatan kontras. Ketiga, walaupun agama dan sains berbeda, agama memiliki implikasi-implikasi terhadap sains demikian pula sebaliknya. Sains dan agama dapat berinteraksi antara satu dengan lainnya. Saling menghormati perkembangannya antara keduanya. Sikap menyapa dan bergumul. Agama dapat menawarkan ide dan nilai untuk sains itu sendiri. Ini yang disebut dengan pendekatan kontak. Ke empat, meski agak mendekati cara ketiga, tetapi lebih signifikan. Agama memberi peluang sangat bagi sains untuk berkembangnya petualangan ilmiah dan penemuan ide-ide baru dengan cara merujuk nilai-nilai yang dikehendaki oleh agama tanpa harus ikut campur urusan sains. Artinya perkembangan sains mengikuti cara etik yang di ajarkan agama sebagai sumber nilai. Ini disebut dengan pendekatan konfirmasi.
Pendekatan Kontak
Cara menghubungkan agama dengan sains tidak rela terbelah menjadi dua ranah yang ditetapkan kubu kontras.Bagaimanapun di Barat agama telah membantu sejarah sains dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi. Adalah mustahil untuk memisahkan mereka. Pendekatan kontak berkepentingan bahwa teologi dalam artian positif selalu tetap bisa sejalan dengan kosmologi. Teologi tidak dapat mengandalkan sains sepenuhnya, tetapi teologi harus menaruh perhatian pada apa yang sedang terjadi dalam dunia para ilmuan. Teologi berusaha mengungkapkan ide-idenya dengan mempertimbangkan hal-hal yang terbaik dalam sains, jika tidak secara intelektual dia akan menjadi tidak relevan lagi.
Oleh karena itu terbuka kesempatan pendekatan kontak terbuka atau dialog terbuka antar ilmuan dan teolog. ”Kontak” berarti berkumpul bersama-sama tanpa harus melebur dahulu. Pendekatan ini terbuka untuk berdialog dan berinteraksi, saling mempengaruhi, mencegah terjadinya peleburan dan pemisahan sebagaimana halnya pendekatan kontras. Masing-masing tetap mempertahankan perbedaan yang ada tetapi tetap menghargai relasi.
Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala keyakinan religius dan persfektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta. Dia tidak berusaha membuktikan keberadaan Tuhan berdasarkan sains tetapi sudah merasa puas jika menafsirkan penemuan-penemuan ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Sudah tidak masanya lagi gagasan gagasan ilmiah dapat digunakan untuk memperkuat argumen bagi eksistensi Tuhan.
Agama berupaya menanamkan dalam diri para pengikutnya suatu cara khusus dalam hal memandang segala sesuatu dalam persfektif ini sangat cocok untuk membingkai perkembangan terbaru dalam biologi dan fisika. Tradisi tradisi keyakinan kenabian pun mengundang para pengikutnya untuk mengupayakan janji yang ada di balik segala sesuatu. Menurut Yudaisme, Kristianitas dan Islam, ”Keyakinan” sejati ialah suatu kepercayaan bahwa hidup baru dan kemungkinan yang tiada tersangka sangka bisa saja terselubung di balik situasi-situasi yang paling kelam sekalipun. Maka sikap keagamaan yang teguh adalah pendirian yang kokoh bahwa masa depan itu terbuka dan seluruh kosmos ini akan bernuara pada pemenuhan yang tiada terduga duga.
Orientasi kesadaran yang penuh harapan tampaknya memang sejalan dengan kenyataan yang dituntut ilmu pengetahuan dari kita. Banyak pemikir agama telah menemukan apa yang mereka anggap sejalan dan luar biasa masalah persfektif keyakinan yang dibentuk oleh perasaan akan realitas yang dijanjikan oleh keyakinan itu, dan alam semesta yang kini semakin tersingkap berkat perkembangan perkembangan baru dalam sains. Dalam kontek ini pendekatan kontak perlu dialogis yang menarik antara sains dan agama sehingga saling melengkapi.
Teori-teori ilmiah dan metafora-metafora keagamaan misalnya dalam persepakatan epistemologis ini bukan hanya sekedar ramuan imajinasi belaka sebagaimana dinyatakan oleh sebagian besar pemikiran modern dan postmodern. Mereka justru mengemban suatu relasi yang selalu bersifat tentatif dengan satu dunia nyata dan landasannya yang terakhir. Dunia di seberang daya daya representasi kita ini hanya selalu bisa ditangkap secara tidak utuh, dan kehadiran terus menerus menguji hipotesis hipotesis kita, baik dalam bidang ilmu pengetahuan ataupun dalam bidang agama, Jadi mereka saling berbagi secara timbal balik dalam keterbukaan kritis terhadap apa yang nyata. Inilah yang menjadi landasan bagi adanya ”kontak ” sejati antara sains dan agama.
Pendekatan konfirmasi.
Dialog tentang sains dan agama menjadi sangat subur kalau tetap berada pada tahap pendekatan kontak tadi; tetapi kta lebih suka untuk melangkah lebih jauh lagi. Kita menghargai semua upaya menemukan kecocokan antara sains dan agama. Kita berpandangan bahwa agama justru mendorong kegiatan ilmiah.
Agama tidak boleh dipakai memperkuat cara-cara berbahaya didalam mana pengetahuan ilmiah sering kali diterapkan dalam kenyataan. Agama pada dasarnya memperkuat kerinduan sederhana akan pengetahuan. Agama memperkuat dorongan yang bisa memunculkan sains. Haught menyebut pendekatan di atas ini dengan ”konfirmasi” sejajar dengan arti ”memperkuat” atau ”mendukung”, menurutnya agama kalau dimurnikan secara hati-hati dari implikasi-implikasi yang menyesatkan bisa mendukung sepenuhnya dan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta ini.
Kita sadar dewasa ini sains telah dikritik dengan sangat pedas. Banyak pengkritik berpikir sains itu bertanggungjawab atas sebagian besar penyakit yang diderita dunia modern ini. Menurut mereka kalau tidak karena sains mungkin kita tidak akan mengalami ancaman nuklir, tidak mengalami polusi global udara, tanah dan air. Planet kita ini mungkin jauh lebih baik jika tidak ada sains. Menurut mereka sainslah yang merupakan akar-akar permasalahan serangan atas alam, aksi penumpasan. Ada upaya untuk menguasai kosmos. Orang mengatakan bahwa sains itu memiliki watak yang bercorak patriarkal, suatu eksploitasi atas alam yang erat dikaitkan dengan kultur kita, yaitu kultur tradisi penindasan terhadap perempuan.
Teologi tentu tidak mau mendukung sains kalau dari sananya terkait dengan kejahatan kejahatan itu. Kita wajar curiga sebagian besar kritik atas sains itu muncul karena disamakan secara keliru dengan tren tren dan motif motif yang setidaknya bisa dibedakan dengan jelas dari sains itu sendiri. Sains adalah upaya sederhana tetapi berhasil menangkap upaya empiris sedapat mungkin dengan upaya matematis, beberapa bagian kecil dari keseluruhan realitas. Setiap keinginan untuk mengetahui segala sesuatu yang kita temukan dalam sains bukan merupakan bagian dari sains itu, melainkan sesuatu yang diklarifikasi dengan tepat oleh kubu pendekatan kontras dalam protesnya melawan kubu peleburan.
Sebagian besar kritik atas sains tidak mengakui bahwa sebenarnya sains itu mengalir dari kerinduan sederhana dan rendah hati akan pengetahuan. Kita harus dapat membedakan kerinduan fundamental ini akan kebenaran dari kerinduan kerinduan manusia lainnya, seperti kehendak untuk menikmati kesenangan, kekuasaan, atau rasa aman yang menempatkan sains sebagai pelayan bagi dorongan-dorongan yang tidak ada kaitan apa pun dengan upaya mencari kebenaran tadi. Karena itu ketika kita mengatakan bahwa agama mendukung sains diartikan agama bukannya mendukung segala cara yg mengeksploitasi segala sesuatu. Kita mengatakan kerinduan yang netral akan pengetahuan, sains itu dibangun sangat kuat oleh nilai religius atas alam semesta ini.
Pendekatan konfirmasi boleh dirumuskan sebagai pernyataan agama bahwa alam semesta ini adalah suatu totalitas yg terbatas, koheren, rasional, dan tertata yang dilandaskan pada kasih dan janji tertinggi, memberi gambaran umum tentang segala sesuatu yang secara konsisten mendorong pencarian ilmiah akan pengetahuan dan membebaskan pengetahuan itu dari keterkaitan keterkaitan pada ideologi ideologi yang membelenggu.
Iman dalam artian kepercayaan mendasar akan rasionalitas yang luas dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains, tetapi justru menjadi sumbernya. Sains sebagimana pengetahuan manusia mempunyai sesuatu yang oleh Michael Polanyi disebut sebagai aspek ”kepercayaan” (Fiduciary, I dari kata latin, I Fideo yang artinya mempercayai). Tanpa unsur kepercayaan ini kiranya tidak ada juga rangsangan untuk mengupayakan kebenaran melalui sains.
Kritik
Zainal Abidin dalam Ilmu Etika & Agama mengkritik tipologi Barbour maupun haughty terfokus hanya pada satu wilayah saja dalam wacana sains dan agama, yaitu focus kepada teologi (khususnya masalah penciptaan) dan focus pada ilmu-ilmu alam tertentu (khususnya evolusi dan kosmologi). Etika dalam sains misalnya tidak tersentuh sama sekali, meskipun agama sesungguhnya merupakan salah satu sumber etika terpenting. Bahkan aspek-aspek internal sains seperti misalnya epistemology, juga tidak banyak tersentuh. Dalam Barbour dan Haught pembahasan tentang sains dan agama terutama dianggap sebagai satu pembahasan bagaimana agama (teologi) menanggapi teori-teori ilmiah baru .
Dalam teks ( Nash al-Qur’an, Injil, dan kitab suci agama lainnya) memang tidak spesifik mengurusi masalah sains. Persoalan ini lebih pada produk penalaran aqal melalui penelitrian ilmiah. Tetapi banyak teks yang secara general telah menyinggung masalah sains. Biologi, astronomi, fisika, dan lain-lain banyak ditemui di berbagai surat atau ayat-ayat dalam al-Qur’an. Disamping itu Al-Qur’an menyinggung masalah penalaran aqal secara global. Dalam hubungan ini Hauht tidak mengutip teks salah satu agama guna memperkuat argumentasi.
Kesimpulan.
Haught mengajak kita untuk mengikuti gaya presentasi yang agak ”Polemik” ini agar kita bisa sampai pada kejelasan dan kegairahan yang kiranya tidak bakal muncul dalam pemadatan yang semata mata tampil dalam diri orang ke tiga saja.
Dia akan memakai format yang benar benar provokatif dan repetitif ini dengan sengaja bukannya untuk menambah ketegangan, melainkan hanya untuk memberi semacam prolog bagi percakapan yang lebih bermakna lagi dalam sains dan agama. Kecenderungan Haught tampak jelas dalam kontak dan konfirmasi pada masing masing Bab (Buku yang ditulis). Meski demikian dipersilahkan pembaca peneliti menganalisis masing-masing persfektif dengan argumentasinya masing masing. Sehingga peneliti dapat berpikir dan membanding argumen yang lebih kuat.
Sains modern memang masuk akal dan dapat ditelusuri dengan analisis dan menurut leluhur kita alam semesta ini memiliki batas. Maka pikiran kita bertanya tentang kekuasaan Tuhan. Bagaimana evolusi dan Tuhan, Bagaimana Einstein dan Tuhan, Chaos dan Tuhan, alam semesta dan Tuhan. Dengan demikian tentu muncul tujuan implisit kosmik itu sendiri dan sikap kepedulian yang lebih besar tentang pertanyaan yang selalu terkait tentang makna hidup kita masing masing. Pertanyaan mengenai tujuan kosmik tidak akan pernah menjauh dari kita tatkala kita melangkah maju dan kita akan kembali secara lebih eksplisit lagi ke hal ini manakalah kita hampir sampai pada bagian akhir dari perjalanan ekspedisi kita.
Ternyata ilmuan terbagi dua kubu. Kubu yang mengakui agama dan Tuhan, dan kubu yang menafikan agama dan Tuhan. Masing-masing dengan argumentasinya.
Oleh karena itu untuk mengakhiri pertikaian sains dan agama maka Haught menawarkan pendekatan kontak dan konfirmasi sebagai solusi. Maka pertanyaannya bagaimana deskripsi pendekatan kontak dan konfirmasi antara sains dan agama untuk dapat bekerja sama?
Tulisan ini dimaksudkan menjawab pertanyaan di atas yaitu bagaimana prosesnya pendekatan kontak dan konfirmasi itu dilakukan sehingga sains dan agama saling melengkapi untuk kepentingan umat manusia.
Kegelisahan akademik John. F. Haught.
Perkembangan ilmiah modern bagi sebagian ilmuan semakin jauh dari ide ketuhanan dan agama. Tidak tertarik dengan ide Tuhan dan Agama apalagi menarik garis penghubung sains dengan agama.
Maka Haught menawarkan solusi dalam Deskripsi bukunya ”Science and Religion: From Conflict to Conversation” Penerjemah. Fransiskus Borgias, MA, “Perjumpaan Sains Dan Agama: Dari Konflik ke Dialog“. Inti buku tersebut adalah menghubungkan sains dengan agama untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Secara spesifik Haught membahas pendekatan “kontak“ dan “Konfirmasi“ untuk menjembatani perjumpaan Sains dengan Agama. dan dirumuskan dalam pertanyaan.
Apakah intelektual tidak menerima agama? Apakah sains menyingkar kan Tuhan Personal?.Apakah tatanan Ilahi dalam evolusi tidak masuk akal dalam benak Ilmuan? Apakah gejala jiwa dan ruh semu belaka? Apakah kita masih percaya dunia ini diciptakan Tuhan?
Apa semua pola yang rumit dalam alam ini hanyalah hasil dari suatu peluang yang serba kebetulan? Dalam era kemajuan sains dapatkah kita secara jujur percaya bahwa alam semesta ini memang mempunyai narah atau tujuan tertentu? Bukankah agama bertanggungjawab atas krisis ekologis?.
Apakah Agama Bertentangan Dengan Sains?
Haught mengungkap relasi agama dengan sains ada empat pemahaman. Pertama mengatakan bahwa agama sama sekali bertentangan dengan sains sebaliknya sains membatalkan agama. Haught menyebutnya sebagai posisi konflik Kedua, orang lain menegaskan bahwa agama dan sains sangat berbeda satu dengan yang lain sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama valid. Keduanya harus ada garis pemisahan. Ini disebut dengan pendekatan kontras. Ketiga, walaupun agama dan sains berbeda, agama memiliki implikasi-implikasi terhadap sains demikian pula sebaliknya. Sains dan agama dapat berinteraksi antara satu dengan lainnya. Saling menghormati perkembangannya antara keduanya. Sikap menyapa dan bergumul. Agama dapat menawarkan ide dan nilai untuk sains itu sendiri. Ini yang disebut dengan pendekatan kontak. Ke empat, meski agak mendekati cara ketiga, tetapi lebih signifikan. Agama memberi peluang sangat bagi sains untuk berkembangnya petualangan ilmiah dan penemuan ide-ide baru dengan cara merujuk nilai-nilai yang dikehendaki oleh agama tanpa harus ikut campur urusan sains. Artinya perkembangan sains mengikuti cara etik yang di ajarkan agama sebagai sumber nilai. Ini disebut dengan pendekatan konfirmasi.
Pendekatan Kontak
Cara menghubungkan agama dengan sains tidak rela terbelah menjadi dua ranah yang ditetapkan kubu kontras.Bagaimanapun di Barat agama telah membantu sejarah sains dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi. Adalah mustahil untuk memisahkan mereka. Pendekatan kontak berkepentingan bahwa teologi dalam artian positif selalu tetap bisa sejalan dengan kosmologi. Teologi tidak dapat mengandalkan sains sepenuhnya, tetapi teologi harus menaruh perhatian pada apa yang sedang terjadi dalam dunia para ilmuan. Teologi berusaha mengungkapkan ide-idenya dengan mempertimbangkan hal-hal yang terbaik dalam sains, jika tidak secara intelektual dia akan menjadi tidak relevan lagi.
Oleh karena itu terbuka kesempatan pendekatan kontak terbuka atau dialog terbuka antar ilmuan dan teolog. ”Kontak” berarti berkumpul bersama-sama tanpa harus melebur dahulu. Pendekatan ini terbuka untuk berdialog dan berinteraksi, saling mempengaruhi, mencegah terjadinya peleburan dan pemisahan sebagaimana halnya pendekatan kontras. Masing-masing tetap mempertahankan perbedaan yang ada tetapi tetap menghargai relasi.
Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala keyakinan religius dan persfektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta. Dia tidak berusaha membuktikan keberadaan Tuhan berdasarkan sains tetapi sudah merasa puas jika menafsirkan penemuan-penemuan ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Sudah tidak masanya lagi gagasan gagasan ilmiah dapat digunakan untuk memperkuat argumen bagi eksistensi Tuhan.
Agama berupaya menanamkan dalam diri para pengikutnya suatu cara khusus dalam hal memandang segala sesuatu dalam persfektif ini sangat cocok untuk membingkai perkembangan terbaru dalam biologi dan fisika. Tradisi tradisi keyakinan kenabian pun mengundang para pengikutnya untuk mengupayakan janji yang ada di balik segala sesuatu. Menurut Yudaisme, Kristianitas dan Islam, ”Keyakinan” sejati ialah suatu kepercayaan bahwa hidup baru dan kemungkinan yang tiada tersangka sangka bisa saja terselubung di balik situasi-situasi yang paling kelam sekalipun. Maka sikap keagamaan yang teguh adalah pendirian yang kokoh bahwa masa depan itu terbuka dan seluruh kosmos ini akan bernuara pada pemenuhan yang tiada terduga duga.
Orientasi kesadaran yang penuh harapan tampaknya memang sejalan dengan kenyataan yang dituntut ilmu pengetahuan dari kita. Banyak pemikir agama telah menemukan apa yang mereka anggap sejalan dan luar biasa masalah persfektif keyakinan yang dibentuk oleh perasaan akan realitas yang dijanjikan oleh keyakinan itu, dan alam semesta yang kini semakin tersingkap berkat perkembangan perkembangan baru dalam sains. Dalam kontek ini pendekatan kontak perlu dialogis yang menarik antara sains dan agama sehingga saling melengkapi.
Teori-teori ilmiah dan metafora-metafora keagamaan misalnya dalam persepakatan epistemologis ini bukan hanya sekedar ramuan imajinasi belaka sebagaimana dinyatakan oleh sebagian besar pemikiran modern dan postmodern. Mereka justru mengemban suatu relasi yang selalu bersifat tentatif dengan satu dunia nyata dan landasannya yang terakhir. Dunia di seberang daya daya representasi kita ini hanya selalu bisa ditangkap secara tidak utuh, dan kehadiran terus menerus menguji hipotesis hipotesis kita, baik dalam bidang ilmu pengetahuan ataupun dalam bidang agama, Jadi mereka saling berbagi secara timbal balik dalam keterbukaan kritis terhadap apa yang nyata. Inilah yang menjadi landasan bagi adanya ”kontak ” sejati antara sains dan agama.
Pendekatan konfirmasi.
Dialog tentang sains dan agama menjadi sangat subur kalau tetap berada pada tahap pendekatan kontak tadi; tetapi kta lebih suka untuk melangkah lebih jauh lagi. Kita menghargai semua upaya menemukan kecocokan antara sains dan agama. Kita berpandangan bahwa agama justru mendorong kegiatan ilmiah.
Agama tidak boleh dipakai memperkuat cara-cara berbahaya didalam mana pengetahuan ilmiah sering kali diterapkan dalam kenyataan. Agama pada dasarnya memperkuat kerinduan sederhana akan pengetahuan. Agama memperkuat dorongan yang bisa memunculkan sains. Haught menyebut pendekatan di atas ini dengan ”konfirmasi” sejajar dengan arti ”memperkuat” atau ”mendukung”, menurutnya agama kalau dimurnikan secara hati-hati dari implikasi-implikasi yang menyesatkan bisa mendukung sepenuhnya dan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta ini.
Kita sadar dewasa ini sains telah dikritik dengan sangat pedas. Banyak pengkritik berpikir sains itu bertanggungjawab atas sebagian besar penyakit yang diderita dunia modern ini. Menurut mereka kalau tidak karena sains mungkin kita tidak akan mengalami ancaman nuklir, tidak mengalami polusi global udara, tanah dan air. Planet kita ini mungkin jauh lebih baik jika tidak ada sains. Menurut mereka sainslah yang merupakan akar-akar permasalahan serangan atas alam, aksi penumpasan. Ada upaya untuk menguasai kosmos. Orang mengatakan bahwa sains itu memiliki watak yang bercorak patriarkal, suatu eksploitasi atas alam yang erat dikaitkan dengan kultur kita, yaitu kultur tradisi penindasan terhadap perempuan.
Teologi tentu tidak mau mendukung sains kalau dari sananya terkait dengan kejahatan kejahatan itu. Kita wajar curiga sebagian besar kritik atas sains itu muncul karena disamakan secara keliru dengan tren tren dan motif motif yang setidaknya bisa dibedakan dengan jelas dari sains itu sendiri. Sains adalah upaya sederhana tetapi berhasil menangkap upaya empiris sedapat mungkin dengan upaya matematis, beberapa bagian kecil dari keseluruhan realitas. Setiap keinginan untuk mengetahui segala sesuatu yang kita temukan dalam sains bukan merupakan bagian dari sains itu, melainkan sesuatu yang diklarifikasi dengan tepat oleh kubu pendekatan kontras dalam protesnya melawan kubu peleburan.
Sebagian besar kritik atas sains tidak mengakui bahwa sebenarnya sains itu mengalir dari kerinduan sederhana dan rendah hati akan pengetahuan. Kita harus dapat membedakan kerinduan fundamental ini akan kebenaran dari kerinduan kerinduan manusia lainnya, seperti kehendak untuk menikmati kesenangan, kekuasaan, atau rasa aman yang menempatkan sains sebagai pelayan bagi dorongan-dorongan yang tidak ada kaitan apa pun dengan upaya mencari kebenaran tadi. Karena itu ketika kita mengatakan bahwa agama mendukung sains diartikan agama bukannya mendukung segala cara yg mengeksploitasi segala sesuatu. Kita mengatakan kerinduan yang netral akan pengetahuan, sains itu dibangun sangat kuat oleh nilai religius atas alam semesta ini.
Pendekatan konfirmasi boleh dirumuskan sebagai pernyataan agama bahwa alam semesta ini adalah suatu totalitas yg terbatas, koheren, rasional, dan tertata yang dilandaskan pada kasih dan janji tertinggi, memberi gambaran umum tentang segala sesuatu yang secara konsisten mendorong pencarian ilmiah akan pengetahuan dan membebaskan pengetahuan itu dari keterkaitan keterkaitan pada ideologi ideologi yang membelenggu.
Iman dalam artian kepercayaan mendasar akan rasionalitas yang luas dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains, tetapi justru menjadi sumbernya. Sains sebagimana pengetahuan manusia mempunyai sesuatu yang oleh Michael Polanyi disebut sebagai aspek ”kepercayaan” (Fiduciary, I dari kata latin, I Fideo yang artinya mempercayai). Tanpa unsur kepercayaan ini kiranya tidak ada juga rangsangan untuk mengupayakan kebenaran melalui sains.
Kritik
Zainal Abidin dalam Ilmu Etika & Agama mengkritik tipologi Barbour maupun haughty terfokus hanya pada satu wilayah saja dalam wacana sains dan agama, yaitu focus kepada teologi (khususnya masalah penciptaan) dan focus pada ilmu-ilmu alam tertentu (khususnya evolusi dan kosmologi). Etika dalam sains misalnya tidak tersentuh sama sekali, meskipun agama sesungguhnya merupakan salah satu sumber etika terpenting. Bahkan aspek-aspek internal sains seperti misalnya epistemology, juga tidak banyak tersentuh. Dalam Barbour dan Haught pembahasan tentang sains dan agama terutama dianggap sebagai satu pembahasan bagaimana agama (teologi) menanggapi teori-teori ilmiah baru .
Dalam teks ( Nash al-Qur’an, Injil, dan kitab suci agama lainnya) memang tidak spesifik mengurusi masalah sains. Persoalan ini lebih pada produk penalaran aqal melalui penelitrian ilmiah. Tetapi banyak teks yang secara general telah menyinggung masalah sains. Biologi, astronomi, fisika, dan lain-lain banyak ditemui di berbagai surat atau ayat-ayat dalam al-Qur’an. Disamping itu Al-Qur’an menyinggung masalah penalaran aqal secara global. Dalam hubungan ini Hauht tidak mengutip teks salah satu agama guna memperkuat argumentasi.
Kesimpulan.
Haught mengajak kita untuk mengikuti gaya presentasi yang agak ”Polemik” ini agar kita bisa sampai pada kejelasan dan kegairahan yang kiranya tidak bakal muncul dalam pemadatan yang semata mata tampil dalam diri orang ke tiga saja.
Dia akan memakai format yang benar benar provokatif dan repetitif ini dengan sengaja bukannya untuk menambah ketegangan, melainkan hanya untuk memberi semacam prolog bagi percakapan yang lebih bermakna lagi dalam sains dan agama. Kecenderungan Haught tampak jelas dalam kontak dan konfirmasi pada masing masing Bab (Buku yang ditulis). Meski demikian dipersilahkan pembaca peneliti menganalisis masing-masing persfektif dengan argumentasinya masing masing. Sehingga peneliti dapat berpikir dan membanding argumen yang lebih kuat.
Sains modern memang masuk akal dan dapat ditelusuri dengan analisis dan menurut leluhur kita alam semesta ini memiliki batas. Maka pikiran kita bertanya tentang kekuasaan Tuhan. Bagaimana evolusi dan Tuhan, Bagaimana Einstein dan Tuhan, Chaos dan Tuhan, alam semesta dan Tuhan. Dengan demikian tentu muncul tujuan implisit kosmik itu sendiri dan sikap kepedulian yang lebih besar tentang pertanyaan yang selalu terkait tentang makna hidup kita masing masing. Pertanyaan mengenai tujuan kosmik tidak akan pernah menjauh dari kita tatkala kita melangkah maju dan kita akan kembali secara lebih eksplisit lagi ke hal ini manakalah kita hampir sampai pada bagian akhir dari perjalanan ekspedisi kita.
Ternyata ilmuan terbagi dua kubu. Kubu yang mengakui agama dan Tuhan, dan kubu yang menafikan agama dan Tuhan. Masing-masing dengan argumentasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Zainal Bagir, Dkk.2006.Ilmu, Etika & Agama Menyingkap Tabir Alam dan Manusia.Yogyakarta : CRCS.
Adnan Muhammad. Dkk. T.t. Agama, Kebudayaan dan Pendidikan.Karanganyar: Perhimpunan Citra Kasih.
F. John.Haught.1995. Science and Religion From Conflict to Conversation.Penerj. Fransiskus Borgias, MA.2004. Perjumpaan Sains Dan Agama Dari Konflikke Dialog. Bandung : PT Mizan Pustaka.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana
Tim Dosen Filsafat Ilmu.2007. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Liberty
Selengkapnya...
Abidin Zainal Bagir, Dkk.2006.Ilmu, Etika & Agama Menyingkap Tabir Alam dan Manusia.Yogyakarta : CRCS.
Adnan Muhammad. Dkk. T.t. Agama, Kebudayaan dan Pendidikan.Karanganyar: Perhimpunan Citra Kasih.
F. John.Haught.1995. Science and Religion From Conflict to Conversation.Penerj. Fransiskus Borgias, MA.2004. Perjumpaan Sains Dan Agama Dari Konflikke Dialog. Bandung : PT Mizan Pustaka.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana
Tim Dosen Filsafat Ilmu.2007. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Liberty
Langganan:
Postingan (Atom)