Di pengujung tahun 2009 lalu KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meninggal
dunia. Suasana sedih mewarnai emosi masyarakat Indonesia. Tidak sedikit
umat Kristiani yang saat itu sedang khusuknya menghayati Natal, turut
menaruh kembang-kembang duka disisi mendiang Gus Dur.
Selain umat muslim dan Kristen, umat penganut agama lainnya pun tak
ketinggalan mengacungkan pujian hormat dan belasungkawa sedalam-dalamnya
kepada bapak pluralisme, Gus Dur.
Gus Dur termasuk tokoh yang paling getol menyuarakan keterbukaan,
toleransi, dialog dan pentingnya kerja sama antarumat beragama. Berbagai
manifestasi atau bentuk relasi apapun selama tidak menggerus hal-hal
prinsip dalam agama, perlu terus-menerus ditumbuhkan. Keberagaman
Indonesia memang menuntut demikian. Ambil contoh masalah ucapan selamat
hari raya keagamaan dari umat agama satu kepada umat agama yang lain.
Bagi Gus Dur, ucapan demikian tidaklah menjadi soal. Tindakan positif
itu merupakan satu dari sekian media pemupus sekat-sekat ketertutupan
dan kesenjangan relasi antarumat beragama.
Tulisan berikut merupakan bentuk apresiasi positif atas gagasan-gagasan
dan aksi Gus Dur selama hidupnya. Selain itu juga bagian dari ikhtiar
mewacanakan lebih dekat lagi bangunan-bangunan konsep hubungan antarumat
beragama agar tercipta suasana toleransi dan kerja sama demi kemajuan
bangsa.
Hemat penulis, ada batu sandungan mewujudkan iklim keharmonisan dan
dialog antarumat beragama yang meniscayakan sikap toleran. Batu
sandungan itu justru muncul dari keyakinan teologis. Contohnya seperti
model fatwa. Dalam bahasa Paul F Kniter (1990), batu sandungan sepert
itu merupakan bentuk toleransi yang malas (lazy tolerance).
Dalam lazy tolerance setiap agama memang mengajak agama lain untuk
mengakui keabsahan masing-masing, tapi pada saat yang sama saling
mengabaikan satu sama lain. Akibat dari toleransi malas atau semu itu,
antarumat beragama seperti bara dalam sekam. Hubungan dan dialog
keagamaan yang mendalam tidak terjadi karena umat beragama memilih
menjaga jarak.
Perhatian serius pun tak luput dari sosok Mohammad Natsir (1983:12).
Bagi Natsir, dalam konteks kebhinekaan dan persatuan bangsa (Negara
Kesatuan Republik Indonesia/NKRI), kerukunan antarumat beragama
merupakan syarat bagi tegaknya negara Republik Indonesia yang adil dan
makmur.
Dengan bahasa dan nada tulus Natsir menegaskan bahwa kalau memang
masyarakat hendak menjamin kemerdekaan agama dan hendak menegakkan
kejernihan hidup antarumat beragama di tengah jutaan penduduk Indonesia
yang bermacam-macam agama ini, maka sebagai dasar dari kesatuan negara
tidak lain adalah menyebarkan paham toleransi.
Cukup banyak ayat dalam Alquran yang memerintahkan umatnya untuk
bersikap toleran. Misalnya QS Al-Hajj/22 ayat 40, “Yaitu orang-orang
yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah Allah. Dan sekiranya
tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
niscaya telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama
Allah”.
Jelas, landasan teologis dalam Islam memberikan kerangka acuan bagi
toleransi keagamaan di masyarakat tanpa harus menempatkan agama lain
dalam posisi inferior. Di samping dituntut memahami agama secara benar
dan berkomitmen menjadikan agama yang dianutnya sebagai pedoman hidup,
seyogianya tidak mengabaikan agama dan kepercayaan manapun, baik secara
lisan maupun dengan perbuatan.
Pluralisme positif
Menggunakan optik Mohammed Arkoun (1994), batu sandungan toleransi yang
antara lain berwujud fatwa menyimpan kesalahan metodologis dan kurang
menohok pada aspek epistemologis pemahaman keagamaan. Bisa jadi,
kegagalan dalam membangun toleransi dan kerjasama antaragama selama ini
disebabkan karena kurang menohok aspek epistemologis itu. Upaya
membangun kerukunan lebih diwarnai oleh kepentingan sepihak dengan
tujuan jangka pendek. Dari kritik epistemologi Arkoun di ataslah
penyelaman terhadap sejarah hidup agama-agama perlu dilakukan. Selain
itu, juga penting mengawal pembacaan ulang tafsir keagamaan sekaligus
melihat relasi kuasa dan mengawinkan berbagai disiplin ilmu sebagai
fondasi kerukunan antaragama.
Pluralisme bukan berarti menyamakan semua agama, dan melebur agama-agama
menjadi satu, tapi menegaskan adanya perbedaan dan bagaimana
menghormati, menerima dan mengakomodasi perbedaan dengan cara-cara yang
konstruktif. Pluralisme lebih dari toleransi, saling berkait. Sementara
toleransi lebih pada persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi,
pluralisme menuntut suatu pemahaman yang serius terhadap pihak lain dan
kerja sama (Mohammed Fathi Osman: 2006).
Kritik epistemologi, pembongkaran terhadap sejarah agama-agama, tafsir
keagamaan, dan pengawinan berbagai disiplin ilmu patut digalakkan dalam
upaya memelihara dialog antaragama. Hal ini dapat mengantarkan seorang
penganut agama dapat hidup berdampingan dan memberi manfaat kepada
penganut agama lain tanpa kehilangan komitmen keberimanan yang
diyakininya, perlu memromosikan keabsahan sosiologis agama-agama lain,
sebagai jalan yang menyelamatkan kehidupan.
Logika fatwayang kurang menohok aspek epistemologis pemahaman agama
tampaknya perlu “dikontraskan” dengan fakta dan praktik Nabi Muhammad
SAW: “Suatu ketika Nabi menerima tamu dari kaum Nasrani Najran. Mereka
datang pada waktu asar. Sembari menunggu bertemu nabi, mereka (kaum
Nasrani Najran) kemudian menunaikan salat di Masjid Nabi. Ketika salah
seorang sahabat hendak menegur apa yang dilakukan oleh orang-orang
Nasrani Najran tersebut, Nabi mencegah dan berkata: Biarkan mereka
salat. Maka, orang-orang Nasrani Najran tersebut salat menghadap ke
timur”. Wallahua’lam. - Oleh : Legiman, Mahasiswa program doktor UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
dimuat di Opini SoloPos 15 Januari 2010
Wynn Las Vegas - Jackson, MS Hotels - JTA Hub
BalasHapusGuests will enjoy an 순천 출장샵 upscale 동두천 출장샵 experience on the Las 출장안마 Vegas 삼척 출장샵 Strip, the only place in the world to book hotel rooms 남원 출장샵 and suites.