Selamat Datang

Selamat datang di blog sederhana ini. Tidak banyak yang dijamu disini. Hanya sepenggal ulasan-ulasan ringan hasil refleksi dan buah pikir pemiliknya. Inilah yang saya tahu dan bisa. Semoga bermanfaat

Senin, 30 Juli 2012

Jalur kultural seruan anti golput

Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif April 2009 telah menominasikan golput (golput) sebagai “pemenang”. Walau disokong oleh fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) persentase golput tetap menunjukkan kadar yang tinggi. Menjelang pemilihan umum presiden tidak sedikit kalangan yang memprediksi bakal terjadi lonjakan golput.
Berbeda dengan fatwa haram MUI, ditataran grass root (akar rumput) sederet tokoh masyarakat gencar melakukan seruan golput pada pemilu presiden Juli 2009 mendatang seperti yang dilakukan oleh Sri Bintang Pamungkas. Secara terang-terangan Sri Bintang Pamungkas menjadi Koordinator Kongres Nasional Golongan Putih.
Fatwa haram MUI dan Kongres Nasional Golongan Putih tentu berlawanan secara diametral. Tanpa alasan yang jelas, Sri Bintang menyerukan masyarakat untuk golput, sementara MUI menghendaki agar masyarakat tidak golput dengan alasan bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah wajib. Bedanya lagi kalau MUI adalah kepanjangan tangan pemerintah, sedangkan Kongres Nasional Golongan Putih merupakan inisiasi sebagian elit yang bersifat kultural, -kalau bukan disebut barisan sakit hati yang selama ini berada diluar struktural kekuasaan.
Namun pun demikian, perbedaan mencololok antara MUI dan Kongres Nasional Golongan Putih bukan lantas menempatkan fatwa haram golput tanpa masalah. Jika Konres Nasioal Golongan Putih cenderung mengaburkan demokrasi, tapi gerakannya menjadi bagian dari demokrasi itu sendiri. Sementara MUI, fawa haram glput yang bertujuan mengefektifkan demokrasi memunculkan ”bercak noda” sekaligus mencederai otoritas dan profesionalitas lembaga suci MUI.
Pertengkaran elit
Jika dirunut jauh kebelakang, inisiasi fatwa haram golput muncul ditengah pertengkaran elit. Pada awalnya adalah statemen Abdurrahman Wahid atau Gusdur, politisi sepuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang menyerukan ancaman golput pada  pemilu 2009. Jika boleh direka-reka, ancaman golput Gusdur itu dilatari rasa “sakit hati” terhadap pemerintah karena lebih berpihak kepada PKB kubu Muhaimin Iskandar.
Seruan ancaman itu kemudian ditangkap oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sekaligus politisi asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nurwahid, dengan aroma tidak sepakat. Hidayat Nurwahid lalu memberi sinyal kepada MUI untuk memproduksi fatwa haram golput.
Kesepemahaman ulama-ulama MUI pun mucul. Hasilnya golput haram. Pro-kontra kemudian merebak, namun tidak sedikit pula yang bersikap dingin dan acuh tak acuh. Dalam perjalanannya, tak hanya media dan pengamat yang geger, masyarakat pun turut dipusingkan oleh fatwa haram golput itu.  
Pun dengan penulis sendiri. Lahirnya fatwa haram golput, niatan awal untuk tidak memilih kembali bergejolak. Jika tidak memilih, ada kekawatiran diganjar masuk neraka karena melalukan tindakan atau sikap politik yang telah dicap haram.
Corong kepentingan
Fatwa haram golput merupakan produk agama. Bicara soal agama, MUI menjadi salah satu  rujukannya. Lembaga MUI, sebagai institusi bentukan pemerintah yang kusus berbicara tentang persoalan-persoalan seputar agama, tentu dalam posisi tersubordinasi. Legitimasi yang dimiliki tidaklah setangguh lembaga-lembaga politik negara lain seperti eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
Namun, bagaimanapun, MUI adalah representasi aspirasi dan kepentingan umat Keberadaan MUI menjadi penting untuk meningkatkan bargaining position sekaligus menjadi penyambung lidah kepentingan umat Islam.
Dalam perjalanannya, peran MUI kerap mendapat sorotan kritik banyak kalangan. Isu-isu yang diangkat kurang menyentuh persoalan-persoalan substansial umat. Malah kesan yang dimunculkan, akibat posisi subordinat itu, MUI kurang menampakkan peran kritisnya dimata kekuasaan. MUI pun diidentikkan dengan lembaga “corong kekuasaan”.   
Lahirnya fatwa haram golput menjadi salah satu tanda betapa MUI kurang bijak memposisikan diri sebagai perwakilan umat untuk semua. Seperti telah disinggung diatas, golput adalah wacana yang digulirkan oleh elit-elit tertentu dan muncul ditengah perang kepentingan.
Memunculkan fatwa haram golput berarti MUI masuk dalam lautan konflik kepentingan diantara kelompok-kelompok yang menyerukan golput dengan golongan yang anti golput. Tidak salah jika kemudian, setelah ketetapan fatwa itu dipublikasikan, MUI menjadi bulan-bulanan kritik banyak kalangan. Selai itu, independensi, kapabilitas, dan kredibilitas MUI digugat dan diragukan.
Padahal jika bicara efektifitas, fatwa haram golput bukan malah mendatangkan kemaslahatan, namun kemudaratan. Fatwa itu seakan memaksa agama untuk bermain tarik tambang dengan kekuasaan yang saling tarik menarik. Disamping itu juga, gawang konstitusi yang secara gamblang mengisyaratkan bahwa memilih adalah hak ditabrak oleh MUI menjadi wajib. Wajib dalam arti haram hukumnya jika tidak memilih.
Jalan kultural
Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik, yakni tidak golput, pada dasarnya baik. Bahkan para pakar politik sering mengingatkan bahwa semakin besar potensi golput maka semakin terancam pula sistem politik demokrasi dinegeri ini. Artinya, kekuasaan tidak lagi legitimet sehingga menyebabkan ketidakleluasaan pemerintah memproduksi kebijakan-kebijakan politiknya.
Hanya saja, lagi-lagi, fatwa itu dimunculkan ketika perseteruan antar elit politik mengemuka secara tajam. Padahal tanpa fatwa formal MUI pun, sebenarnya ada jalan yang lebih efektif sehingga bisa menghidari sejauhmungkin gesekan-gesekan politik. Cara itu adalah melalui jalan kultural.
Demi keselamatan MUI agar tidak menjadi tali dalam lomba tarik tambang antar elit politik, saya pikir seruan untuk tidak golput lebih pas jika menggunakan jalur kutural. Ulama-ulama MUI dengan jaringan ulama-nya se-Indonesia akan lebih efektif jika seruan untuk tidak golput disampaikan dari masjid ke-masjid, disematkan disela-sela ceramah, lewat pengajian, dan pendekatan-pendekatan kutural lainnya.
Secara sosiologis, peran ulama dimata masyarakat adalah ikon kultural yang selalu digugu, menjadi suritauladan, penasehat agama, curahan hati masyarakat, gawang spiritual. Kedekatan secara kutural dan emosional itulah ulama bisa menyisipkan pesan-pesan pendidikan politik demi kemajuan dan perubahan bangsa lebih baik, demokrastis dan mencerdasakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar