Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif April 2009 telah menominasikan golput
(golput) sebagai “pemenang”. Walau disokong oleh fatwa haram Majelis
Ulama Indonesia (MUI) persentase golput tetap menunjukkan kadar yang
tinggi. Menjelang pemilihan umum presiden tidak sedikit kalangan yang
memprediksi bakal terjadi lonjakan golput.
Berbeda dengan fatwa haram MUI, ditataran grass root (akar rumput)
sederet tokoh masyarakat gencar melakukan seruan golput pada pemilu
presiden Juli 2009 mendatang seperti yang dilakukan oleh Sri Bintang
Pamungkas. Secara terang-terangan Sri Bintang Pamungkas menjadi
Koordinator Kongres Nasional Golongan Putih.
Fatwa haram MUI dan Kongres Nasional Golongan Putih tentu berlawanan
secara diametral. Tanpa alasan yang jelas, Sri Bintang menyerukan
masyarakat untuk golput, sementara MUI menghendaki agar masyarakat tidak
golput dengan alasan bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah wajib.
Bedanya lagi kalau MUI adalah kepanjangan tangan pemerintah, sedangkan
Kongres Nasional Golongan Putih merupakan inisiasi sebagian elit yang
bersifat kultural, -kalau bukan disebut barisan sakit hati yang selama
ini berada diluar struktural kekuasaan.
Namun pun demikian, perbedaan mencololok antara MUI dan Kongres Nasional
Golongan Putih bukan lantas menempatkan fatwa haram golput tanpa
masalah. Jika Konres Nasioal Golongan Putih cenderung mengaburkan
demokrasi, tapi gerakannya menjadi bagian dari demokrasi itu sendiri.
Sementara MUI, fawa haram glput yang bertujuan mengefektifkan demokrasi
memunculkan ”bercak noda” sekaligus mencederai otoritas dan
profesionalitas lembaga suci MUI.
Pertengkaran elit
Jika dirunut jauh kebelakang, inisiasi fatwa haram golput muncul
ditengah pertengkaran elit. Pada awalnya adalah statemen Abdurrahman
Wahid atau Gusdur, politisi sepuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang
menyerukan ancaman golput pada pemilu 2009. Jika boleh direka-reka,
ancaman golput Gusdur itu dilatari rasa “sakit hati” terhadap pemerintah
karena lebih berpihak kepada PKB kubu Muhaimin Iskandar.
Seruan ancaman itu kemudian ditangkap oleh Ketua Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) sekaligus politisi asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Hidayat Nurwahid, dengan aroma tidak sepakat. Hidayat Nurwahid lalu
memberi sinyal kepada MUI untuk memproduksi fatwa haram golput.
Kesepemahaman ulama-ulama MUI pun mucul. Hasilnya golput haram.
Pro-kontra kemudian merebak, namun tidak sedikit pula yang bersikap
dingin dan acuh tak acuh. Dalam perjalanannya, tak hanya media dan
pengamat yang geger, masyarakat pun turut dipusingkan oleh fatwa haram
golput itu.
Pun dengan penulis sendiri. Lahirnya fatwa haram golput, niatan awal
untuk tidak memilih kembali bergejolak. Jika tidak memilih, ada
kekawatiran diganjar masuk neraka karena melalukan tindakan atau sikap
politik yang telah dicap haram.
Corong kepentingan
Fatwa haram golput merupakan produk agama. Bicara soal agama, MUI
menjadi salah satu rujukannya. Lembaga MUI, sebagai institusi bentukan
pemerintah yang kusus berbicara tentang persoalan-persoalan seputar
agama, tentu dalam posisi tersubordinasi. Legitimasi yang dimiliki
tidaklah setangguh lembaga-lembaga politik negara lain seperti
eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
Namun, bagaimanapun, MUI adalah representasi aspirasi dan kepentingan
umat Keberadaan MUI menjadi penting untuk meningkatkan bargaining
position sekaligus menjadi penyambung lidah kepentingan umat Islam.
Dalam perjalanannya, peran MUI kerap mendapat sorotan kritik banyak
kalangan. Isu-isu yang diangkat kurang menyentuh persoalan-persoalan
substansial umat. Malah kesan yang dimunculkan, akibat posisi subordinat
itu, MUI kurang menampakkan peran kritisnya dimata kekuasaan. MUI pun
diidentikkan dengan lembaga “corong kekuasaan”.
Lahirnya fatwa haram golput menjadi salah satu tanda betapa MUI kurang
bijak memposisikan diri sebagai perwakilan umat untuk semua. Seperti
telah disinggung diatas, golput adalah wacana yang digulirkan oleh
elit-elit tertentu dan muncul ditengah perang kepentingan.
Memunculkan fatwa haram golput berarti MUI masuk dalam lautan konflik
kepentingan diantara kelompok-kelompok yang menyerukan golput dengan
golongan yang anti golput. Tidak salah jika kemudian, setelah ketetapan
fatwa itu dipublikasikan, MUI menjadi bulan-bulanan kritik banyak
kalangan. Selai itu, independensi, kapabilitas, dan kredibilitas MUI
digugat dan diragukan.
Padahal jika bicara efektifitas, fatwa haram golput bukan malah
mendatangkan kemaslahatan, namun kemudaratan. Fatwa itu seakan memaksa
agama untuk bermain tarik tambang dengan kekuasaan yang saling tarik
menarik. Disamping itu juga, gawang konstitusi yang secara gamblang
mengisyaratkan bahwa memilih adalah hak ditabrak oleh MUI menjadi wajib.
Wajib dalam arti haram hukumnya jika tidak memilih.
Jalan kultural
Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik, yakni tidak
golput, pada dasarnya baik. Bahkan para pakar politik sering
mengingatkan bahwa semakin besar potensi golput maka semakin terancam
pula sistem politik demokrasi dinegeri ini. Artinya, kekuasaan tidak
lagi legitimet sehingga menyebabkan ketidakleluasaan pemerintah
memproduksi kebijakan-kebijakan politiknya.
Hanya saja, lagi-lagi, fatwa itu dimunculkan ketika perseteruan antar
elit politik mengemuka secara tajam. Padahal tanpa fatwa formal MUI pun,
sebenarnya ada jalan yang lebih efektif sehingga bisa menghidari
sejauhmungkin gesekan-gesekan politik. Cara itu adalah melalui jalan
kultural.
Demi keselamatan MUI agar tidak menjadi tali dalam lomba tarik tambang
antar elit politik, saya pikir seruan untuk tidak golput lebih pas jika
menggunakan jalur kutural. Ulama-ulama MUI dengan jaringan ulama-nya
se-Indonesia akan lebih efektif jika seruan untuk tidak golput
disampaikan dari masjid ke-masjid, disematkan disela-sela ceramah, lewat
pengajian, dan pendekatan-pendekatan kutural lainnya.
Secara sosiologis, peran ulama dimata masyarakat adalah ikon kultural
yang selalu digugu, menjadi suritauladan, penasehat agama, curahan hati
masyarakat, gawang spiritual. Kedekatan secara kutural dan emosional
itulah ulama bisa menyisipkan pesan-pesan pendidikan politik demi
kemajuan dan perubahan bangsa lebih baik, demokrastis dan mencerdasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar