Dengan membiarkan tumbuh konflik antara sains dan agama tidak dapat menyelesaikan masalah bahkan merugikan agama dan sains itu sendiri dalam hubungannya kepentingan kemanusiaan. Maka diperlukan pendekatan kontak dan konfirmasi yang lebih menguntungkan keduanya serta kepentingan kemanusiaan.
John. F. Haught dalam bukunya memaparkan analisisnya ada empat persfektif atau mazhab menyoroti masalah Sains dan agama. a) Persfektif Konflik b) Persfektif Kontras, c) Persfektif Kontak dan d ) Persfektif Konfirmasi.
Untuk penyelesaian perseteruan antara sains dan agama tidak mungkin dengan pendekatan konflik atau kontras.Permasalahan pokok adalah bagaimana mendamaikan hubungan antara sains dan agama yang menurut persfektif Haught cenderung pada pendekatan kontak dan konfirmasi. Perjumpaan keduanya adalah niscaya. Karena ilmuan sains sebagian masih mempercayai agama dan kekuasaan Tuhan.
Memang terjadi perdebatan antara keduanya masing-masing dengan argumentasi yang mendasarinya. Ilmuan melontarkan kritikannya bahwa kaum agama tidak mampu membuktikan apa yang dipercayainya dengan temuan empirik yang didukung secara kongkrit oleh pancaindra. Ilmuan sains selalu beragumentasi mampu membuktikan teorinya dengan empirik dan pancaindra secara kongkrit. Dari segi sejarah kita perlu ingat kembali beberapa contoh yang sudah jelas penyiksaan oleh gereja terhadap Galileo pada abad ke-17 dan tersebarnya Agama serta Teologi yang anti teori evolusi Darwin abad ke-19 dan 20.
Pada satu sisi Lambatnya pemikiran keagamaan menerima gagasan ilmiah seperti itu, dan fakta banyak orang mengaku beriman kepada Tuhan masih membenci mereka, memberi kesan bahwa agama tidak pernah akur dengan sains. Implikasinya orang beragama menolak temuan temuan astronomi, fisika, dan biologi. Apakah agama secara inheren memang memiliki sifat bermusuhan dengan sains?.
Oleh karena itu untuk mengakhiri pertikaian sains dan agama maka Haught menawarkan pendekatan kontak dan konfirmasi sebagai solusi. Maka pertanyaannya bagaimana deskripsi pendekatan kontak dan konfirmasi antara sains dan agama untuk dapat bekerja sama?
Tulisan ini dimaksudkan menjawab pertanyaan di atas yaitu bagaimana prosesnya pendekatan kontak dan konfirmasi itu dilakukan sehingga sains dan agama saling melengkapi untuk kepentingan umat manusia.
Kegelisahan akademik John. F. Haught.
Perkembangan ilmiah modern bagi sebagian ilmuan semakin jauh dari ide ketuhanan dan agama. Tidak tertarik dengan ide Tuhan dan Agama apalagi menarik garis penghubung sains dengan agama.
Maka Haught menawarkan solusi dalam Deskripsi bukunya ”Science and Religion: From Conflict to Conversation” Penerjemah. Fransiskus Borgias, MA, “Perjumpaan Sains Dan Agama: Dari Konflik ke Dialog“. Inti buku tersebut adalah menghubungkan sains dengan agama untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Secara spesifik Haught membahas pendekatan “kontak“ dan “Konfirmasi“ untuk menjembatani perjumpaan Sains dengan Agama. dan dirumuskan dalam pertanyaan.
Apakah intelektual tidak menerima agama? Apakah sains menyingkar kan Tuhan Personal?.Apakah tatanan Ilahi dalam evolusi tidak masuk akal dalam benak Ilmuan? Apakah gejala jiwa dan ruh semu belaka? Apakah kita masih percaya dunia ini diciptakan Tuhan?
Apa semua pola yang rumit dalam alam ini hanyalah hasil dari suatu peluang yang serba kebetulan? Dalam era kemajuan sains dapatkah kita secara jujur percaya bahwa alam semesta ini memang mempunyai narah atau tujuan tertentu? Bukankah agama bertanggungjawab atas krisis ekologis?.
Apakah Agama Bertentangan Dengan Sains?
Haught mengungkap relasi agama dengan sains ada empat pemahaman. Pertama mengatakan bahwa agama sama sekali bertentangan dengan sains sebaliknya sains membatalkan agama. Haught menyebutnya sebagai posisi konflik Kedua, orang lain menegaskan bahwa agama dan sains sangat berbeda satu dengan yang lain sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama valid. Keduanya harus ada garis pemisahan. Ini disebut dengan pendekatan kontras. Ketiga, walaupun agama dan sains berbeda, agama memiliki implikasi-implikasi terhadap sains demikian pula sebaliknya. Sains dan agama dapat berinteraksi antara satu dengan lainnya. Saling menghormati perkembangannya antara keduanya. Sikap menyapa dan bergumul. Agama dapat menawarkan ide dan nilai untuk sains itu sendiri. Ini yang disebut dengan pendekatan kontak. Ke empat, meski agak mendekati cara ketiga, tetapi lebih signifikan. Agama memberi peluang sangat bagi sains untuk berkembangnya petualangan ilmiah dan penemuan ide-ide baru dengan cara merujuk nilai-nilai yang dikehendaki oleh agama tanpa harus ikut campur urusan sains. Artinya perkembangan sains mengikuti cara etik yang di ajarkan agama sebagai sumber nilai. Ini disebut dengan pendekatan konfirmasi.
Pendekatan Kontak
Cara menghubungkan agama dengan sains tidak rela terbelah menjadi dua ranah yang ditetapkan kubu kontras.Bagaimanapun di Barat agama telah membantu sejarah sains dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi. Adalah mustahil untuk memisahkan mereka. Pendekatan kontak berkepentingan bahwa teologi dalam artian positif selalu tetap bisa sejalan dengan kosmologi. Teologi tidak dapat mengandalkan sains sepenuhnya, tetapi teologi harus menaruh perhatian pada apa yang sedang terjadi dalam dunia para ilmuan. Teologi berusaha mengungkapkan ide-idenya dengan mempertimbangkan hal-hal yang terbaik dalam sains, jika tidak secara intelektual dia akan menjadi tidak relevan lagi.
Oleh karena itu terbuka kesempatan pendekatan kontak terbuka atau dialog terbuka antar ilmuan dan teolog. ”Kontak” berarti berkumpul bersama-sama tanpa harus melebur dahulu. Pendekatan ini terbuka untuk berdialog dan berinteraksi, saling mempengaruhi, mencegah terjadinya peleburan dan pemisahan sebagaimana halnya pendekatan kontras. Masing-masing tetap mempertahankan perbedaan yang ada tetapi tetap menghargai relasi.
Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala keyakinan religius dan persfektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta. Dia tidak berusaha membuktikan keberadaan Tuhan berdasarkan sains tetapi sudah merasa puas jika menafsirkan penemuan-penemuan ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Sudah tidak masanya lagi gagasan gagasan ilmiah dapat digunakan untuk memperkuat argumen bagi eksistensi Tuhan.
Agama berupaya menanamkan dalam diri para pengikutnya suatu cara khusus dalam hal memandang segala sesuatu dalam persfektif ini sangat cocok untuk membingkai perkembangan terbaru dalam biologi dan fisika. Tradisi tradisi keyakinan kenabian pun mengundang para pengikutnya untuk mengupayakan janji yang ada di balik segala sesuatu. Menurut Yudaisme, Kristianitas dan Islam, ”Keyakinan” sejati ialah suatu kepercayaan bahwa hidup baru dan kemungkinan yang tiada tersangka sangka bisa saja terselubung di balik situasi-situasi yang paling kelam sekalipun. Maka sikap keagamaan yang teguh adalah pendirian yang kokoh bahwa masa depan itu terbuka dan seluruh kosmos ini akan bernuara pada pemenuhan yang tiada terduga duga.
Orientasi kesadaran yang penuh harapan tampaknya memang sejalan dengan kenyataan yang dituntut ilmu pengetahuan dari kita. Banyak pemikir agama telah menemukan apa yang mereka anggap sejalan dan luar biasa masalah persfektif keyakinan yang dibentuk oleh perasaan akan realitas yang dijanjikan oleh keyakinan itu, dan alam semesta yang kini semakin tersingkap berkat perkembangan perkembangan baru dalam sains. Dalam kontek ini pendekatan kontak perlu dialogis yang menarik antara sains dan agama sehingga saling melengkapi.
Teori-teori ilmiah dan metafora-metafora keagamaan misalnya dalam persepakatan epistemologis ini bukan hanya sekedar ramuan imajinasi belaka sebagaimana dinyatakan oleh sebagian besar pemikiran modern dan postmodern. Mereka justru mengemban suatu relasi yang selalu bersifat tentatif dengan satu dunia nyata dan landasannya yang terakhir. Dunia di seberang daya daya representasi kita ini hanya selalu bisa ditangkap secara tidak utuh, dan kehadiran terus menerus menguji hipotesis hipotesis kita, baik dalam bidang ilmu pengetahuan ataupun dalam bidang agama, Jadi mereka saling berbagi secara timbal balik dalam keterbukaan kritis terhadap apa yang nyata. Inilah yang menjadi landasan bagi adanya ”kontak ” sejati antara sains dan agama.
Pendekatan konfirmasi.
Dialog tentang sains dan agama menjadi sangat subur kalau tetap berada pada tahap pendekatan kontak tadi; tetapi kta lebih suka untuk melangkah lebih jauh lagi. Kita menghargai semua upaya menemukan kecocokan antara sains dan agama. Kita berpandangan bahwa agama justru mendorong kegiatan ilmiah.
Agama tidak boleh dipakai memperkuat cara-cara berbahaya didalam mana pengetahuan ilmiah sering kali diterapkan dalam kenyataan. Agama pada dasarnya memperkuat kerinduan sederhana akan pengetahuan. Agama memperkuat dorongan yang bisa memunculkan sains. Haught menyebut pendekatan di atas ini dengan ”konfirmasi” sejajar dengan arti ”memperkuat” atau ”mendukung”, menurutnya agama kalau dimurnikan secara hati-hati dari implikasi-implikasi yang menyesatkan bisa mendukung sepenuhnya dan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta ini.
Kita sadar dewasa ini sains telah dikritik dengan sangat pedas. Banyak pengkritik berpikir sains itu bertanggungjawab atas sebagian besar penyakit yang diderita dunia modern ini. Menurut mereka kalau tidak karena sains mungkin kita tidak akan mengalami ancaman nuklir, tidak mengalami polusi global udara, tanah dan air. Planet kita ini mungkin jauh lebih baik jika tidak ada sains. Menurut mereka sainslah yang merupakan akar-akar permasalahan serangan atas alam, aksi penumpasan. Ada upaya untuk menguasai kosmos. Orang mengatakan bahwa sains itu memiliki watak yang bercorak patriarkal, suatu eksploitasi atas alam yang erat dikaitkan dengan kultur kita, yaitu kultur tradisi penindasan terhadap perempuan.
Teologi tentu tidak mau mendukung sains kalau dari sananya terkait dengan kejahatan kejahatan itu. Kita wajar curiga sebagian besar kritik atas sains itu muncul karena disamakan secara keliru dengan tren tren dan motif motif yang setidaknya bisa dibedakan dengan jelas dari sains itu sendiri. Sains adalah upaya sederhana tetapi berhasil menangkap upaya empiris sedapat mungkin dengan upaya matematis, beberapa bagian kecil dari keseluruhan realitas. Setiap keinginan untuk mengetahui segala sesuatu yang kita temukan dalam sains bukan merupakan bagian dari sains itu, melainkan sesuatu yang diklarifikasi dengan tepat oleh kubu pendekatan kontras dalam protesnya melawan kubu peleburan.
Sebagian besar kritik atas sains tidak mengakui bahwa sebenarnya sains itu mengalir dari kerinduan sederhana dan rendah hati akan pengetahuan. Kita harus dapat membedakan kerinduan fundamental ini akan kebenaran dari kerinduan kerinduan manusia lainnya, seperti kehendak untuk menikmati kesenangan, kekuasaan, atau rasa aman yang menempatkan sains sebagai pelayan bagi dorongan-dorongan yang tidak ada kaitan apa pun dengan upaya mencari kebenaran tadi. Karena itu ketika kita mengatakan bahwa agama mendukung sains diartikan agama bukannya mendukung segala cara yg mengeksploitasi segala sesuatu. Kita mengatakan kerinduan yang netral akan pengetahuan, sains itu dibangun sangat kuat oleh nilai religius atas alam semesta ini.
Pendekatan konfirmasi boleh dirumuskan sebagai pernyataan agama bahwa alam semesta ini adalah suatu totalitas yg terbatas, koheren, rasional, dan tertata yang dilandaskan pada kasih dan janji tertinggi, memberi gambaran umum tentang segala sesuatu yang secara konsisten mendorong pencarian ilmiah akan pengetahuan dan membebaskan pengetahuan itu dari keterkaitan keterkaitan pada ideologi ideologi yang membelenggu.
Iman dalam artian kepercayaan mendasar akan rasionalitas yang luas dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains, tetapi justru menjadi sumbernya. Sains sebagimana pengetahuan manusia mempunyai sesuatu yang oleh Michael Polanyi disebut sebagai aspek ”kepercayaan” (Fiduciary, I dari kata latin, I Fideo yang artinya mempercayai). Tanpa unsur kepercayaan ini kiranya tidak ada juga rangsangan untuk mengupayakan kebenaran melalui sains.
Kritik
Zainal Abidin dalam Ilmu Etika & Agama mengkritik tipologi Barbour maupun haughty terfokus hanya pada satu wilayah saja dalam wacana sains dan agama, yaitu focus kepada teologi (khususnya masalah penciptaan) dan focus pada ilmu-ilmu alam tertentu (khususnya evolusi dan kosmologi). Etika dalam sains misalnya tidak tersentuh sama sekali, meskipun agama sesungguhnya merupakan salah satu sumber etika terpenting. Bahkan aspek-aspek internal sains seperti misalnya epistemology, juga tidak banyak tersentuh. Dalam Barbour dan Haught pembahasan tentang sains dan agama terutama dianggap sebagai satu pembahasan bagaimana agama (teologi) menanggapi teori-teori ilmiah baru .
Dalam teks ( Nash al-Qur’an, Injil, dan kitab suci agama lainnya) memang tidak spesifik mengurusi masalah sains. Persoalan ini lebih pada produk penalaran aqal melalui penelitrian ilmiah. Tetapi banyak teks yang secara general telah menyinggung masalah sains. Biologi, astronomi, fisika, dan lain-lain banyak ditemui di berbagai surat atau ayat-ayat dalam al-Qur’an. Disamping itu Al-Qur’an menyinggung masalah penalaran aqal secara global. Dalam hubungan ini Hauht tidak mengutip teks salah satu agama guna memperkuat argumentasi.
Kesimpulan.
Haught mengajak kita untuk mengikuti gaya presentasi yang agak ”Polemik” ini agar kita bisa sampai pada kejelasan dan kegairahan yang kiranya tidak bakal muncul dalam pemadatan yang semata mata tampil dalam diri orang ke tiga saja.
Dia akan memakai format yang benar benar provokatif dan repetitif ini dengan sengaja bukannya untuk menambah ketegangan, melainkan hanya untuk memberi semacam prolog bagi percakapan yang lebih bermakna lagi dalam sains dan agama. Kecenderungan Haught tampak jelas dalam kontak dan konfirmasi pada masing masing Bab (Buku yang ditulis). Meski demikian dipersilahkan pembaca peneliti menganalisis masing-masing persfektif dengan argumentasinya masing masing. Sehingga peneliti dapat berpikir dan membanding argumen yang lebih kuat.
Sains modern memang masuk akal dan dapat ditelusuri dengan analisis dan menurut leluhur kita alam semesta ini memiliki batas. Maka pikiran kita bertanya tentang kekuasaan Tuhan. Bagaimana evolusi dan Tuhan, Bagaimana Einstein dan Tuhan, Chaos dan Tuhan, alam semesta dan Tuhan. Dengan demikian tentu muncul tujuan implisit kosmik itu sendiri dan sikap kepedulian yang lebih besar tentang pertanyaan yang selalu terkait tentang makna hidup kita masing masing. Pertanyaan mengenai tujuan kosmik tidak akan pernah menjauh dari kita tatkala kita melangkah maju dan kita akan kembali secara lebih eksplisit lagi ke hal ini manakalah kita hampir sampai pada bagian akhir dari perjalanan ekspedisi kita.
Ternyata ilmuan terbagi dua kubu. Kubu yang mengakui agama dan Tuhan, dan kubu yang menafikan agama dan Tuhan. Masing-masing dengan argumentasinya.
Oleh karena itu untuk mengakhiri pertikaian sains dan agama maka Haught menawarkan pendekatan kontak dan konfirmasi sebagai solusi. Maka pertanyaannya bagaimana deskripsi pendekatan kontak dan konfirmasi antara sains dan agama untuk dapat bekerja sama?
Tulisan ini dimaksudkan menjawab pertanyaan di atas yaitu bagaimana prosesnya pendekatan kontak dan konfirmasi itu dilakukan sehingga sains dan agama saling melengkapi untuk kepentingan umat manusia.
Kegelisahan akademik John. F. Haught.
Perkembangan ilmiah modern bagi sebagian ilmuan semakin jauh dari ide ketuhanan dan agama. Tidak tertarik dengan ide Tuhan dan Agama apalagi menarik garis penghubung sains dengan agama.
Maka Haught menawarkan solusi dalam Deskripsi bukunya ”Science and Religion: From Conflict to Conversation” Penerjemah. Fransiskus Borgias, MA, “Perjumpaan Sains Dan Agama: Dari Konflik ke Dialog“. Inti buku tersebut adalah menghubungkan sains dengan agama untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Secara spesifik Haught membahas pendekatan “kontak“ dan “Konfirmasi“ untuk menjembatani perjumpaan Sains dengan Agama. dan dirumuskan dalam pertanyaan.
Apakah intelektual tidak menerima agama? Apakah sains menyingkar kan Tuhan Personal?.Apakah tatanan Ilahi dalam evolusi tidak masuk akal dalam benak Ilmuan? Apakah gejala jiwa dan ruh semu belaka? Apakah kita masih percaya dunia ini diciptakan Tuhan?
Apa semua pola yang rumit dalam alam ini hanyalah hasil dari suatu peluang yang serba kebetulan? Dalam era kemajuan sains dapatkah kita secara jujur percaya bahwa alam semesta ini memang mempunyai narah atau tujuan tertentu? Bukankah agama bertanggungjawab atas krisis ekologis?.
Apakah Agama Bertentangan Dengan Sains?
Haught mengungkap relasi agama dengan sains ada empat pemahaman. Pertama mengatakan bahwa agama sama sekali bertentangan dengan sains sebaliknya sains membatalkan agama. Haught menyebutnya sebagai posisi konflik Kedua, orang lain menegaskan bahwa agama dan sains sangat berbeda satu dengan yang lain sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama valid. Keduanya harus ada garis pemisahan. Ini disebut dengan pendekatan kontras. Ketiga, walaupun agama dan sains berbeda, agama memiliki implikasi-implikasi terhadap sains demikian pula sebaliknya. Sains dan agama dapat berinteraksi antara satu dengan lainnya. Saling menghormati perkembangannya antara keduanya. Sikap menyapa dan bergumul. Agama dapat menawarkan ide dan nilai untuk sains itu sendiri. Ini yang disebut dengan pendekatan kontak. Ke empat, meski agak mendekati cara ketiga, tetapi lebih signifikan. Agama memberi peluang sangat bagi sains untuk berkembangnya petualangan ilmiah dan penemuan ide-ide baru dengan cara merujuk nilai-nilai yang dikehendaki oleh agama tanpa harus ikut campur urusan sains. Artinya perkembangan sains mengikuti cara etik yang di ajarkan agama sebagai sumber nilai. Ini disebut dengan pendekatan konfirmasi.
Pendekatan Kontak
Cara menghubungkan agama dengan sains tidak rela terbelah menjadi dua ranah yang ditetapkan kubu kontras.Bagaimanapun di Barat agama telah membantu sejarah sains dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi. Adalah mustahil untuk memisahkan mereka. Pendekatan kontak berkepentingan bahwa teologi dalam artian positif selalu tetap bisa sejalan dengan kosmologi. Teologi tidak dapat mengandalkan sains sepenuhnya, tetapi teologi harus menaruh perhatian pada apa yang sedang terjadi dalam dunia para ilmuan. Teologi berusaha mengungkapkan ide-idenya dengan mempertimbangkan hal-hal yang terbaik dalam sains, jika tidak secara intelektual dia akan menjadi tidak relevan lagi.
Oleh karena itu terbuka kesempatan pendekatan kontak terbuka atau dialog terbuka antar ilmuan dan teolog. ”Kontak” berarti berkumpul bersama-sama tanpa harus melebur dahulu. Pendekatan ini terbuka untuk berdialog dan berinteraksi, saling mempengaruhi, mencegah terjadinya peleburan dan pemisahan sebagaimana halnya pendekatan kontras. Masing-masing tetap mempertahankan perbedaan yang ada tetapi tetap menghargai relasi.
Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala keyakinan religius dan persfektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta. Dia tidak berusaha membuktikan keberadaan Tuhan berdasarkan sains tetapi sudah merasa puas jika menafsirkan penemuan-penemuan ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Sudah tidak masanya lagi gagasan gagasan ilmiah dapat digunakan untuk memperkuat argumen bagi eksistensi Tuhan.
Agama berupaya menanamkan dalam diri para pengikutnya suatu cara khusus dalam hal memandang segala sesuatu dalam persfektif ini sangat cocok untuk membingkai perkembangan terbaru dalam biologi dan fisika. Tradisi tradisi keyakinan kenabian pun mengundang para pengikutnya untuk mengupayakan janji yang ada di balik segala sesuatu. Menurut Yudaisme, Kristianitas dan Islam, ”Keyakinan” sejati ialah suatu kepercayaan bahwa hidup baru dan kemungkinan yang tiada tersangka sangka bisa saja terselubung di balik situasi-situasi yang paling kelam sekalipun. Maka sikap keagamaan yang teguh adalah pendirian yang kokoh bahwa masa depan itu terbuka dan seluruh kosmos ini akan bernuara pada pemenuhan yang tiada terduga duga.
Orientasi kesadaran yang penuh harapan tampaknya memang sejalan dengan kenyataan yang dituntut ilmu pengetahuan dari kita. Banyak pemikir agama telah menemukan apa yang mereka anggap sejalan dan luar biasa masalah persfektif keyakinan yang dibentuk oleh perasaan akan realitas yang dijanjikan oleh keyakinan itu, dan alam semesta yang kini semakin tersingkap berkat perkembangan perkembangan baru dalam sains. Dalam kontek ini pendekatan kontak perlu dialogis yang menarik antara sains dan agama sehingga saling melengkapi.
Teori-teori ilmiah dan metafora-metafora keagamaan misalnya dalam persepakatan epistemologis ini bukan hanya sekedar ramuan imajinasi belaka sebagaimana dinyatakan oleh sebagian besar pemikiran modern dan postmodern. Mereka justru mengemban suatu relasi yang selalu bersifat tentatif dengan satu dunia nyata dan landasannya yang terakhir. Dunia di seberang daya daya representasi kita ini hanya selalu bisa ditangkap secara tidak utuh, dan kehadiran terus menerus menguji hipotesis hipotesis kita, baik dalam bidang ilmu pengetahuan ataupun dalam bidang agama, Jadi mereka saling berbagi secara timbal balik dalam keterbukaan kritis terhadap apa yang nyata. Inilah yang menjadi landasan bagi adanya ”kontak ” sejati antara sains dan agama.
Pendekatan konfirmasi.
Dialog tentang sains dan agama menjadi sangat subur kalau tetap berada pada tahap pendekatan kontak tadi; tetapi kta lebih suka untuk melangkah lebih jauh lagi. Kita menghargai semua upaya menemukan kecocokan antara sains dan agama. Kita berpandangan bahwa agama justru mendorong kegiatan ilmiah.
Agama tidak boleh dipakai memperkuat cara-cara berbahaya didalam mana pengetahuan ilmiah sering kali diterapkan dalam kenyataan. Agama pada dasarnya memperkuat kerinduan sederhana akan pengetahuan. Agama memperkuat dorongan yang bisa memunculkan sains. Haught menyebut pendekatan di atas ini dengan ”konfirmasi” sejajar dengan arti ”memperkuat” atau ”mendukung”, menurutnya agama kalau dimurnikan secara hati-hati dari implikasi-implikasi yang menyesatkan bisa mendukung sepenuhnya dan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta ini.
Kita sadar dewasa ini sains telah dikritik dengan sangat pedas. Banyak pengkritik berpikir sains itu bertanggungjawab atas sebagian besar penyakit yang diderita dunia modern ini. Menurut mereka kalau tidak karena sains mungkin kita tidak akan mengalami ancaman nuklir, tidak mengalami polusi global udara, tanah dan air. Planet kita ini mungkin jauh lebih baik jika tidak ada sains. Menurut mereka sainslah yang merupakan akar-akar permasalahan serangan atas alam, aksi penumpasan. Ada upaya untuk menguasai kosmos. Orang mengatakan bahwa sains itu memiliki watak yang bercorak patriarkal, suatu eksploitasi atas alam yang erat dikaitkan dengan kultur kita, yaitu kultur tradisi penindasan terhadap perempuan.
Teologi tentu tidak mau mendukung sains kalau dari sananya terkait dengan kejahatan kejahatan itu. Kita wajar curiga sebagian besar kritik atas sains itu muncul karena disamakan secara keliru dengan tren tren dan motif motif yang setidaknya bisa dibedakan dengan jelas dari sains itu sendiri. Sains adalah upaya sederhana tetapi berhasil menangkap upaya empiris sedapat mungkin dengan upaya matematis, beberapa bagian kecil dari keseluruhan realitas. Setiap keinginan untuk mengetahui segala sesuatu yang kita temukan dalam sains bukan merupakan bagian dari sains itu, melainkan sesuatu yang diklarifikasi dengan tepat oleh kubu pendekatan kontras dalam protesnya melawan kubu peleburan.
Sebagian besar kritik atas sains tidak mengakui bahwa sebenarnya sains itu mengalir dari kerinduan sederhana dan rendah hati akan pengetahuan. Kita harus dapat membedakan kerinduan fundamental ini akan kebenaran dari kerinduan kerinduan manusia lainnya, seperti kehendak untuk menikmati kesenangan, kekuasaan, atau rasa aman yang menempatkan sains sebagai pelayan bagi dorongan-dorongan yang tidak ada kaitan apa pun dengan upaya mencari kebenaran tadi. Karena itu ketika kita mengatakan bahwa agama mendukung sains diartikan agama bukannya mendukung segala cara yg mengeksploitasi segala sesuatu. Kita mengatakan kerinduan yang netral akan pengetahuan, sains itu dibangun sangat kuat oleh nilai religius atas alam semesta ini.
Pendekatan konfirmasi boleh dirumuskan sebagai pernyataan agama bahwa alam semesta ini adalah suatu totalitas yg terbatas, koheren, rasional, dan tertata yang dilandaskan pada kasih dan janji tertinggi, memberi gambaran umum tentang segala sesuatu yang secara konsisten mendorong pencarian ilmiah akan pengetahuan dan membebaskan pengetahuan itu dari keterkaitan keterkaitan pada ideologi ideologi yang membelenggu.
Iman dalam artian kepercayaan mendasar akan rasionalitas yang luas dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains, tetapi justru menjadi sumbernya. Sains sebagimana pengetahuan manusia mempunyai sesuatu yang oleh Michael Polanyi disebut sebagai aspek ”kepercayaan” (Fiduciary, I dari kata latin, I Fideo yang artinya mempercayai). Tanpa unsur kepercayaan ini kiranya tidak ada juga rangsangan untuk mengupayakan kebenaran melalui sains.
Kritik
Zainal Abidin dalam Ilmu Etika & Agama mengkritik tipologi Barbour maupun haughty terfokus hanya pada satu wilayah saja dalam wacana sains dan agama, yaitu focus kepada teologi (khususnya masalah penciptaan) dan focus pada ilmu-ilmu alam tertentu (khususnya evolusi dan kosmologi). Etika dalam sains misalnya tidak tersentuh sama sekali, meskipun agama sesungguhnya merupakan salah satu sumber etika terpenting. Bahkan aspek-aspek internal sains seperti misalnya epistemology, juga tidak banyak tersentuh. Dalam Barbour dan Haught pembahasan tentang sains dan agama terutama dianggap sebagai satu pembahasan bagaimana agama (teologi) menanggapi teori-teori ilmiah baru .
Dalam teks ( Nash al-Qur’an, Injil, dan kitab suci agama lainnya) memang tidak spesifik mengurusi masalah sains. Persoalan ini lebih pada produk penalaran aqal melalui penelitrian ilmiah. Tetapi banyak teks yang secara general telah menyinggung masalah sains. Biologi, astronomi, fisika, dan lain-lain banyak ditemui di berbagai surat atau ayat-ayat dalam al-Qur’an. Disamping itu Al-Qur’an menyinggung masalah penalaran aqal secara global. Dalam hubungan ini Hauht tidak mengutip teks salah satu agama guna memperkuat argumentasi.
Kesimpulan.
Haught mengajak kita untuk mengikuti gaya presentasi yang agak ”Polemik” ini agar kita bisa sampai pada kejelasan dan kegairahan yang kiranya tidak bakal muncul dalam pemadatan yang semata mata tampil dalam diri orang ke tiga saja.
Dia akan memakai format yang benar benar provokatif dan repetitif ini dengan sengaja bukannya untuk menambah ketegangan, melainkan hanya untuk memberi semacam prolog bagi percakapan yang lebih bermakna lagi dalam sains dan agama. Kecenderungan Haught tampak jelas dalam kontak dan konfirmasi pada masing masing Bab (Buku yang ditulis). Meski demikian dipersilahkan pembaca peneliti menganalisis masing-masing persfektif dengan argumentasinya masing masing. Sehingga peneliti dapat berpikir dan membanding argumen yang lebih kuat.
Sains modern memang masuk akal dan dapat ditelusuri dengan analisis dan menurut leluhur kita alam semesta ini memiliki batas. Maka pikiran kita bertanya tentang kekuasaan Tuhan. Bagaimana evolusi dan Tuhan, Bagaimana Einstein dan Tuhan, Chaos dan Tuhan, alam semesta dan Tuhan. Dengan demikian tentu muncul tujuan implisit kosmik itu sendiri dan sikap kepedulian yang lebih besar tentang pertanyaan yang selalu terkait tentang makna hidup kita masing masing. Pertanyaan mengenai tujuan kosmik tidak akan pernah menjauh dari kita tatkala kita melangkah maju dan kita akan kembali secara lebih eksplisit lagi ke hal ini manakalah kita hampir sampai pada bagian akhir dari perjalanan ekspedisi kita.
Ternyata ilmuan terbagi dua kubu. Kubu yang mengakui agama dan Tuhan, dan kubu yang menafikan agama dan Tuhan. Masing-masing dengan argumentasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Zainal Bagir, Dkk.2006.Ilmu, Etika & Agama Menyingkap Tabir Alam dan Manusia.Yogyakarta : CRCS.
Adnan Muhammad. Dkk. T.t. Agama, Kebudayaan dan Pendidikan.Karanganyar: Perhimpunan Citra Kasih.
F. John.Haught.1995. Science and Religion From Conflict to Conversation.Penerj. Fransiskus Borgias, MA.2004. Perjumpaan Sains Dan Agama Dari Konflikke Dialog. Bandung : PT Mizan Pustaka.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana
Tim Dosen Filsafat Ilmu.2007. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Liberty
Abidin Zainal Bagir, Dkk.2006.Ilmu, Etika & Agama Menyingkap Tabir Alam dan Manusia.Yogyakarta : CRCS.
Adnan Muhammad. Dkk. T.t. Agama, Kebudayaan dan Pendidikan.Karanganyar: Perhimpunan Citra Kasih.
F. John.Haught.1995. Science and Religion From Conflict to Conversation.Penerj. Fransiskus Borgias, MA.2004. Perjumpaan Sains Dan Agama Dari Konflikke Dialog. Bandung : PT Mizan Pustaka.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana
Tim Dosen Filsafat Ilmu.2007. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Liberty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar