Selamat Datang

Selamat datang di blog sederhana ini. Tidak banyak yang dijamu disini. Hanya sepenggal ulasan-ulasan ringan hasil refleksi dan buah pikir pemiliknya. Inilah yang saya tahu dan bisa. Semoga bermanfaat

Senin, 30 Juli 2012

Memanusiawikan keadilan hukum

JUDUL di atas seolah menyimpan segumpal umpatan dalam kaitannya dengan keadilan hukum. Rupa-rupanya keadilan hukum kerap hadir tidak secara berimbang. Adil bagi yang satu, tapi tidak adil bagi lainnya. Padahal, keadilan adalah sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan (Abdurahman Wahid, 1995).
Umpatan tak sedap yang mengatakan bahwa hukum di negeri ini masih jauh dari semangat keadilan buat kalangan atau masyarakat kecil tampaknya bukan sekadar cibiran sinis tanpa dasar. Berbagai kasus yang mendesak hadirnya ketegasan hukum terjebak pada mekanisme formal yang acap menanggalkan dimensi keadilan. Hukum di negeri ini masih menyisakan wajah bopengnya, menghadirkan keadilan yang bukan sebenarnya.
Bagi masyarakat pendamba keadilan yang notabene jauh dari akses kekuasaan atau uang, hukum tak ubahnya seperti monster yang siap menelan. Masyarakat kecil dimata hukum tidak hendak diperjuangkan tapi malah menjadi korban. Hukum hanya cukup melihat siapa dan apa yang dilakukan berikut pasal apa dan ayat berapa yang kemudian digunakan untuk menjustifikasi kesalahan, tanpa menelisik lebih jauh mengapa kesalahan itu dibuat.
Alih-alih melihat dalam konteks seperti apa yang cocok untuk diterapkan, pasal dan ayat hukum menjadi kiblat buta dan siap menghantam siapa saja yang melanggarnya. Kasus-kasus seperti yang dialami Prita Mulyasari, Mbah Minah dengan beberapa biji coklat, dan kasuskasus sejenis lainnya adalah sederet korban yang tersubordinasi oleh dominasi kekuasaan dan uang terhadap hukum. Selantang apa pun perlawanan hukum dilakukan, ketika ketegasan hukum dibahasakan, sekali salah tetap salah. Akan berbeda realitasnya jika yang dijatuhi pasal dan ayat hukum adalah orang-orang the have atau memiliki modal politik yang kuat, bahasabahasa ketegasan hukum akan menjadi seremoni belaka. Rule of law tak berdaya. Kasus-kasus yang ada mungkin publik sudah banyak yang mafhum
Tidak sedikit pakar hukum dengan fasih menyuarakan pencerahan hukum. Dan tidak kurang lantangnya para juru bicara keadilan hukum melontarkan gagasan-gagasan keadilan. Salah satu sarat terwujudnya keadilan adalah dengan sudi keluar dari kungkungan formalitas baku yang ada. Artinya, hukum secara apik perlu diracik dengan perangkat pengetahuan sosiologis, misalnya, dalam proses-proses penetapannya. Sehingga, hukum akan lebih mantap melihat siapa dan mengapa pelanggaran dilakukan.
Dalam mengawal upaya pencerahan hukum, bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, walau harus mengorbankan segala kebakuankebakuan yang sudah mapan. Hanya saja, proses akhirnya tentu tergantung pada kerja keras dan ijtihad maksimal pemangku keputusan hukum agar menelurkan produkproduk hukum yang adil dan mampu memangkas sisi subjektivitas yang kerap ditutupi oleh imingiming materi dengan melanggar kode etik.
Kesepadanan
Sekedar perbandingan, dalam membangun kerangka metodologis sebagai ikhtiar mencerahkan hukum tampaknya perlu menyepadankan dan berkaca pada tradisi penemuan hukum Islam. Konstruksi hukum Islam yang bersumber dari dua sumber asasi yakni Alquran dan As-Sunnah dalam alam jagat pewacanaan cukup memiliki kekayaan. Kekayaan kerangka metodologis hukum Islam jika digarap serius menjanjikan terwujudnya kemaslahatan dengan bersendikan keadilan sejati.
Sumber asasi hukum Islam adalah Alquran dan As-Sunnah. Keduanya diyakini memiliki nilai dan kualitas absolut dan mutlak. Bahwa, pesan-pesan substansialnya benarbenar dihadirkan oleh sang pembuat hukum, yakni Allah SWT. Universalitas pesan keadilan wajib ditegakkan. Oleh karenanya segala tata aturan yang tidak mengindahkan dimensi keadilan adalah ditolak dan tidak patut ditegakkan. Dari alur logika itu, maka menegakkan hukum Allah SWT berarti menegakkan keadilan.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dituntut untuk mengembangkan kreativitas dan kapasitasnya, sebagai khalifah dan pengemban amanah, untuk terus mengaktualkan pesan universal dan substansial yang dianjurkan Allah SWT. Jalan dimaksud itulah yang akrab dikenal dengan ijtihad. Dengan modal ijtihad, aspek-aspek keadilan diturunkan yang kemudian menghasilkan produk-produk turunan hukum yang disesuaikan dengan konteks sosiologis, misalnya, di mana hukum itu diterapkan. Metodologi ijtihad yang kini popular dan masih dipegang teguh oleh orang-orang yang dinilai memiliki otoritas seperti qiyas, ijma’, istihsan, maslahah mursalah, ’urf, dan lain-lain.
Berbagai temuan gagasan terkait bangunan kerangka metodologi hukum Islam kian waktu pun terus membanjir. Yang paling menonjol adalah hermeunetika. Adalah sebuah keabsahan tentunya ditengah kemajuan ilmu pengetahuan mulai dari bahasa, sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya jika pengkajian hukum Islam memanfaatkan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan tersebut. Sebab, bila hukum Islam tidak dibaca dan dipahami dengan metodologi yang mencerahkan dan hanya terjebak pada ’’pasalpasal” atau ayat-ayat yang tertera dalam sumber-sumber asasinya, sudah barang tentu akan menemui keganjilan dan kontradiksi hebat. Keganjilan atau kontradiksi itu salah satunya disebabkan oleh benturan semangat perubahan yang menuntut cara baca baru.
Tentu tidak bisa dinafikan bahwa latar historis petama kali hukum Islam diterapkan jauh berbeda dengan konteks saat ini. Dimensi keadilan yang intrinsik dalam hukum Islam dipengaruhi oleh semangat zaman, yakni perubahan konteks ruang dan waktu. Oleh karenanya, bicara soal keadilan tentu harus membuka mata melihat semangat perubahan yang menyertai. Siapa, kapan, di mana, mengapa, dan lain-lain perlu mendapat porsi lebih agar keadilan hukum dapat membekas.
Akhirnya, dalam menentukan hukum, penggunaan pola akal dan nurani perlu dikedepankan. Proses shifting paradigm dari pasal-pasal atau ayat ayat yang baku dan kaku mendesak untuk diupayakan dan dirintis secara berani, kritis dan analitik.
Tak terkecuali dalam kasus Prita Mulyasari misalnya, atau Mbah Minah yang mampu menyedot perhatian dan simpati publik, harus dilihat dalam semangat demokratisasi dan partisipasi dalam menentukan hukum sebagai konsekuensi perubahan sosiologis masyarakat yang kian sadar dan kritis. Di atas partisipasi itulah hukum akan berdiri di atas semangat kebutuhan dan aspirasi publik yang rindu akan keadilan, persamaan, dan kesederajatan hukum sejati. Kita pun pantas berdalih, bahwa hukum Allah SWT saja dalam batas-batas tertentu memungkinkan mengalami pergeseran pola dan konteks, apalagi hukum manusia! Legiman Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dimuat di Koran Sore Wawasan Monday, 11 January 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar